Metafora dalam D Mayor

Metafora dalam D Mayor

Jika deret notasi balok bisa mewakili bagaimana diri kita kapanpun bisa hanyut ke dalam, aku akan memilih kanon dan giga dalam kunci D mayor. Terimakasih pada tuan Johann Pachelbel, yang imajinasi nadanya mampu memadu hening dan riang dalam alunan awal cello, harpsichord, dan organ yang sempurna.

Ini adalah gubahan yang selalu mampu membuatku terkesiap fana sekejap, meresapi sukacita dan tragedi dalam ketenangan tersirat. Sungguh alibi sempurna untuk menjawab pertanyaan dengan “aku tak tahu”. Lakuna semu yang tepat untuk bersembunyi dan melakukan apapun yang perlu saat itu. Marah, sedih, kecewa, bahagia. Mengumpat, menangis, menyesal, tertawa.
Apapun.
Sesaat.

Ceruk melikut sirna saat garis-garis notasi berakhir. Semua kembali nyata berlogika. Kadang apa adanya begitu, kadang palsu, kadang ambigu. Mana perlumu.

Aku tak memberinya waktu khusus untuk hadir, karena rencana tak selalu sesuai harapan. Maka aku membiarkannya tiba kapan saja. Menikmati jeda selintas jengkal dalam jiwa yang tak kekal.

photo-1531318701087-32c11653dd77
Free Soul
Iklan

Seketika yang Lalu

Kadang mendengar alunan musik instrumental di pagi hari sejuk yang tenang bisa agak sedikit berbahaya bagiku. Irama menenangkan, hampir pasti akan membawa segala kenangan tanpa keriaan yang mampu disimpan hippocampus sistem limbikku dan mengembalikan kejadian nyaris sempurna. Pernah suatu pagi, aku mendadak terisak sesak mengingat sesal lampau tak berkesudahan. Kemudian di satu pagi lainnya, aku tercenung diam beberapa lama, mengindra sakit dendam marah, dan rasa-rasa yang jika mampu aku kembali akan kulakukan kebalikan tindakanku masa itu. Jika saat itu aku diam, aku akan berteriak. Jika saat itu aku pasrah, aku akan berontak. Jika saat itu aku marah, aku akan tenang. Semuanya, asal bukan yang saat itu. Andai saja.

Namun kemudian, setelah kupikir-pikir, alunan musik ini tidak serta-merta berbahaya. Beberapa saat setelah segala ingatan lalu terdedah, air mata tertumpah, marah memaksa serapah hingga aku merasa lelah, jiwaku terasa ringan tercerah. Aku menemukan celah agar tidak kembali melakukan tindak bodoh seperti yang sudah-sudah. Aku merasa bertenaga.

Apa ini yang disebut terapi? Bisa jadi. Tapi yang pasti aku kemudian sadar diri. Sepele sekali hidup ini. Terkoyak begitu saja dipancing alunan sitar seruling dengan gemericik air. Apalagi angin sejuk bertiup membawa kicau cuitan burung, dan sesekali eretan tonggeret di sela-sela gesekan daun bambu. Itu saja bisa bikin jiwa porak-poranda. Sungguh rapuh.

Sejurus lalu, tarikan nafas dalam mengisi kepala, membasuh segar udara yang mengalir merelung kalbu. Tenang, damai, diam. Kepingan retak menyusun ulang. Pecah sana-sini, namun menyatu. Cacat, namun utuh. seketika tubuh sekujur merasa sejuk bersih ringan tanpa beban. Melihat rongsok rusak tampak indah menyatu dengan yang baru.

Tidak terjadi setiap hari, hanya terkadang. Biasanya ketika terlalu banyak gambar dan suara bermunculan, riuh, dan aku hanya bisa diam. Mengizinkan mereka ambil panggung, meneriakkan kegundahan. Alunan musik instrumental membuat segala hingar tersadar, ada yang lain selain rasa. Logika.
Menemukan awal, menelusur jalur, mengambil langkah, menyusun keping, menambal pecahan, mewadah gulana, menatap arah. Semuanya masuk akal, wajar beralasan.

Aku kemudian menyelesaikan segala buncah dengan secangkir kopi. Pekat, namun tidak terlalu pahit sebagaimana aku biasa menyeduh tanpa gula. Aku menambahkan sedikit susu dan serbuk jahe untuk menawar ketar dan menghangat rasa setelah terserak luka. Aku berterima kasih pada segala jenis robusta, arabica, ekselsa, racemosa, luwak, dan liberica yang setia menemani setiap pagi dengan segala tabula rasa yang menyertainya.

Pada akhirnya aku juga berterima kasih pada hembusan angin, tiupan seruling, petikan sitar, kicau burung, eret tonggeret, dan gesek dedaunan yang mengaduk segala indra di pagi hari sejuk yang tenang. Aku berterima kasih pada semesta yang membuat ada.

***

Piring Itu …

Piring Itu …

piring
stack of plates

Adalah piring resepsi, dalam pesta pora riuh ria perkawinan, kelahiran, segala selamatan dan sukuran. Ini resepsi istimewa, tumpukan piringnya selalu sama.

Piring teratas adalah orang tua dari kakek neneknya.
Piring di bawahnya adalah kakek neneknya.
Piring di bawahnya lagi adalah ayah ibunya.
Piring di bawahnya, siapa lagi kalau bukan dia dan mereka.
Piring paling bawah adalah anak-anaknya.

Ini adalah tumpukan paling lengkap dari keluarga piring. Lalu tamu-tamu mengular, menanti giliran mengambil hidangan, mengubah tatanan tumpuk keluarga piring.

Tamu pertama, mengambil orang tua kakek neneknya. Diisinya dengan nasi, lauk-pauk, dan kerupuk. Nyawa.
Tamu kedua, mengambil kakek neneknya. Diisinya dengan nasi, sayur-mayur, sup, dan sambal. Jiwa.
Tamu ketiga, mengambil ayah ibunya. Diisinya dengan lauk-pauk, sayur-mayur, kerupuk. Tanpa nasi. Sukma.
Tamu keempat, mengambil dia dan mereka. Diisinya dengan sayur-mayur bersiram saus asam dan buah saja. Atma.
Tamu kelima, belum ingin makan. Piringnya tidak diambil. Tapi diganti.

Para sinom tak henti mengisi kembali nampan-nampan kosong dan mengganti tumpukan piring untuk ambilan tetamu berikutnya. Ini resepsi istimewa, tumpukan piringnya selalu sama.
Piring orang tua kakek nenek.
Piring kakek nenek.
Piring orang tua.
Piring dia dan mereka.
Piring anak-anaknya.
Lalu datang seorang tamu, sangat santun. Mengambil piring kakek nenek, setelah tamu di depannya mengambil piring orang tua kakek nenek.
Namun tamunya tak terlalu lapar. Piring kakek nenek dikembalikan. Tentu saja di atas tumpukan piring dia dan mereka, karena piring orang tua sudah diambil tamu belakangnya.

Para sinom tak henti mengisi kembali nampan-nampan kosong dan mengganti tumpukan piring untuk ambilan tetamu berikutnya. Ini resepsi istimewa, tumpukan piringnya selalu sama. Namun tumpukan terkini sedikit berbeda, karena tamu santun tak terlalu lapar.

Piring kakek nenek.
Piring dia dan mereka.
Piring anak-anaknya.
Tamu berikutnya, berbaju gamis, lengan panjang. Mengambil kembali piring kakek nenek milik tamu santun yang tak terlalu lapar.

Para sinom tak henti mengisi kembali nampan-nampan kosong dan mengganti tumpukan piring untuk ambilan tetamu berikutnya. Ini resepsi istimewa, namun kini piringnya tinggal dua.
Piring dia dan mereka.
Piring anak-anaknya.
Tamu kemudian, datang berpasangan. Lelaki bersarung batik, mengambil piring dia dan mereka.
Wanita berjarik lurik, mengambil piring anak-anaknya.
Tumpukan segera kosong, sinom tergesa. Namun sayang, terpeleset. Menabrak tamu wanita berjarik lurik, dengan piring anak-anaknya. Pecah.
Piringnya habis.

*

Angin bertiup biasa saja ketika kabar kematian tiba. Burung, ayam, bebek berkicau, kokok, kuek ala kadarnya. Tukang bubur, penjaja nasi pecel, penjual jamu tak berhenti meracik ramu. Semua wajar tak berkejar tanpa pertanda saat kabar kematian tiba.

Mati selalu dia, bukan kamu. Apalagi aku.
Mati selalu mereka, bukan kalian. Apalagi kita.
Mati selalu jauh, belum jelang. Apalagi dekat.
Mati selalu milik dia, mereka dan jauh.

Aku bukan mati, kamu pun.
Aku tidak mati, kamu pun.
Matiku jauh. Kamu… kali ini tidak pun.
Tapi aku belum. Kamu… aku tak tahu.

Selalu.
Sampai aku, dan mungkin kamu, mendapat jatah giliran dalam resepsi. Menjadi piring.
Sampai aku, dan mungkin kamu, menyadari tamu resepsinya sudah mengambil tumpukan di atas kita. Ya, itu piring ayah ibu.
Sampai aku, dan mungkin kamu, masih menunggu tamu, lalu sinomnya terpeleset.

**

Angin bertiup biasa saja ketika kabar kematian tiba. Sapi, kambing, kuda melenguh, embik, ringkik ala kadarnya. Loper koran, tukang pos, pengasong tetap bertandang meskipun rumah kosong. Semua wajar tak berkejar tanpa pertanda saat kabar kematian tiba.

Sesak sesaat, lalu sudah. Itu dia, bukan aku.
Duka sejenak, lalu lupa. Itu mereka, bukan kamu.
Alim sekejap, lalu nista. Matiku esok, bukan sekarang.

Selalu.
Sampai aku, dan mungkin kamu, mendapat jatah giliran dalam resepsi. Menjadi piring.
Sampai aku, dan mungkin kamu, menyadari tamu resepsinya sudah mengambil tumpukan di atas kita. Ya, itu piring ayah ibu.
Sampai aku, dan mungkin kamu, masih menunggu tamu, lalu sinomnya terpeleset.

Piringnya pecah.

Piring itu aku, kamu, kita…

Mati.

 

broken plates
broken plates

***

 

Pisuh

Pisuh

Bangsat bajingan!
Tak cukup untuk menyerapahmu. Kumpulan caci tak akan sanggup menggenapi gemuruhku. Kalau saja satu jurus digdaya bisa memperlambat denyut, niscaya tak hanya sekali kulepas lisan berkutuk. Picisan!

Rupamu palsu lambemu lamis. Asu!
Ingin sekali kuteriakkan di depan wajah bertopeng tebalmu. Merenggut kulit mukamu dan melihat belatung singgat atau entah makhluk lain yang bersemayam di batok kepalamu, lalu muntah. Tentu saja di ubun-ubunmu!

Jancuk kéré!
Sandangmu sama sekali tak layak sembah. Gelang cincinmu membuat jengah. Perilakumu tak bercermin titah. Mewah megah jumawa semua sepele. Jahanam lonté!

Percuma…
Makian dahsyat, hujat bejat, tak akan meredakan jeritan jelata. Maka kurapal saja mantra. Semoga semesta mengindera, nirwana mana yang tak menutup gapura, saat ragamu meregang sukma.

Tai!

anger
 

anger

 

Terburu Cemburu

Terburu Cemburu

Semua tahu, wajahmu menyaru, dalam balut tampan dan ayu. Itu tidak perlu digunjing.
Semua juga tahu, akal bulusmu kadang bukan hanya menipu, tapi juga menjadi candu. Tentu saja bagi yang hatinya jatuh berkeping.
Mungkin itu yang membuat mereka mau terpaku dalam genggam pesonamu, yang padahal bau cerutu. Aku tak suka. Bikin pusing.

Sekutumu satu itu juga sama saja. Menjebak para kembara tak paham arah dalam pekat halimun, lalu merapal sirap hingga mereka terhasut nikmat.
Setelah itu? Kalian hina mereka dalam lena, karena jubah-jubahnya tak lagi membebat kulit mereka yang langsat. Mereka telanjang bulat termakan hasrat.

Owalah, ternyata ada juga hati yang masih tertawan palsumu. Padahal sudah lama terbuang percuma.
Ini bukan semata karena mantra. Prananya terlalu kuat menguar di udara. Coba rasakan. Ini aroma asmara. Betul bukan?

Astaga! Dia dimabuk cinta! Umpanmu menangkap mangsa!

Kalau sudah begini, tak peduli nurani atau jati diri. Gaman pedang, gandewa, gada sederhanapun mampu melantak cakra Wisnu dan trisula Siwa. Dahsyat.

Jadi, jangan sekalipun menguji kanuragan semacam itu, karena dayanya melebihi semburan Mahameru yang terbatuk malu, dan kekuatannya menyatu dengan titah Batara Guru.

Itu adalah ilmu ksatria terdahulu, semenjak gunung-gunung masih terduduk lugu.
Ilmu yang tak pernah terhapus waktu, bahkan kala terkepung pasukan dari tujuh penjuru.
Itu adalah ilmu ksatria yang terburu cemburu.

image
warrior

Kata Dua Cawan

Kata Dua Cawan

Dua cawan terbuka ketika kartu dilempar. Dua kali.
“Jangan lakukan apapun, jangan ambil keputusan sama sekali,” kata sang cenayang.

“Dua adalah diam. Jangan bertindak, apalagi memutuskan kehendak, karena dua adalah keseimbangan.”

“Tetap tinggal dan jangan tumpahkan cawan. Duka lara suka cita semua ada di sana. Sekali tertuang tak akan berulang. Biarlah mengendap sebelum kakimu menderap.”

“Cukup itu untuk satu tanyamu,” tutup sang cenanyang.

Lalu dia menghilang.

 

IMG-20160104-WA0006

Selimut Gemintang

Selimut Gemintang

Tandu besi yang membuat kudamu limbung, lalu menjatuhkanmu bertumpu siku, hingga pecah retak membengkak.
Ingat?
Pasti.

Sais tandu yang turun menyeretmu agar terhindar dari terjang pasukan Pajang.
Ingat?
Pasti.

Prajurit kelana yang juga terhempas dari kudanya karena terantuk tapal kudamu.
Ingat?
Pasti.

Sajjana, lawan cakap dan laku tengil yang sangat kau banggakan, yang selalu muncul dalam setiap fatamorgana kerinduan, dan desir kebahagiaan.
Ingat?
Benamkan kepalaku ke dalam lumpur hisap, kalau jawabannya bukan pasti.

Dua selimut gemintang menaungi tidurku melawan semburan nafas Himalaya. Hanya tapa brata yang bisa menandingi kegemingan, ketika Resi tabib berkata, “Jangan berkedip tanpa perintahku atau sumsumnya tak akan tumbuh!”

Tulang-tulangku ngilu berbungkus daging mengerut terhimpit kulit yang makin merapat. Putingku menciut menahan hempas kipas tanpa derajat.
Ingat?
Barangkali.

Dua selimut gemintang telah tersingkap. Lebih baik undur diri bersiap memasang bubungan. Siapa tahu para tetamu berniat menatap tuanku, atau Sajjana kembali menghapus rindu.
Ingat?
Mungkin.

Dalam keriuhan menyambut caraka lara, sepertinya moksa sekejap adalah bijaksana. Toh tidak selalu.
Tapi apakah ini bermakna?
Entah.

Samsara.
Itukah yang membuatmu hilang ingatan?
Tapi bisakah bosan, taruna yang lebih pandhita, atau hati yang sudah nirrasa penyebabnya?
Kali ini aku sama sekali tak berani memberi janji pasti.
Karena dua selimut gemintang kembali membekap.

 

image
star gazing

Kolam Sembilan Cakap

Kolam Sembilan Cakap

Aku tidak habis pikir, bagaimana mereka sengaja bertahan hidup di kolam itu.

Itu adalah sebuah kolam, dengan air mengalir, berisi ikan warna-warni.
Mulut-mulut mereka tak berhenti bergerak di dalam sana.
Tak ada suara. Dari atas.

Masuklah. Ke bawah.

Kau akan tenggelam dalam buncah acak centang-perenang.

Ambigu. Bias. Gaduh. Saru. Caci. Binal.

Segala rupa.

Sebagian tak seperti wujudnya.

Umpan serupa jeram membuat mereka berkecipak berontak, terdesak, lalu tersedak.

Memang begitu.

Mereka suka.

Lalu bisa menghina-dina, tikam-bunuh, mencumbu, atau cemburu.
Bahkan saling melempar rindu.

Aku tidak habis pikir, bagaimana mereka sengaja mencebur ke kolam itu.

Apa yang mereka cari?

Kawan, lawan, atau sekedar lawakan?

Lalu mengapa aku menelisik seperti telik?

Ah, sudahlah… Apalah aku. Seekor ikan tak paham arah.

Biarlah mereka berpesta hingga kalap, di kolam sembilan cakap.

fish
kolam ikan

In Flagrante Delicto

In Flagrante Delicto

Hari ini aku menemukan tanda.

Beberapa hari lalu juga.

Minggu lalu, pun.

Berserak ternyata.

Itu tanda untuk apa?

Aku mendapatinya, memungutinya, mengumpulkannya.

Kemudian bagaimana?

Tadi pagi, aku tertangkap basah, pada sebuah tanda tanya.

Aku membacanya, tapi tidak menerjemahkannya.

… dan ini, juga sebuah pertanda.

Aku tertangkap basah, pada sebuah tanda tanya.

 

sign
i see the sign