Aku masih menumpahkan segala carut di otakku yang sungguh marut malam itu. Memutar kembali bagaimana semua peristiwa berkelindan dalam jalin ingatan yang telah lalu, dengan tindak, ucap, dan pikir yang kadang selaras kadang berbantah. Semua mengantarkanku menapaki jenjang simpul yang mungkin bagi sebagian orang sungguh anomali.
Apalagi, di masa sekarang. Ketika setiap kata yang tertulis, terbaca, terucap bisa seketika nirmakna oleh khalayak yang bahkan sesungguhnya berada dalam satu halaman sama. Bagaimana setiap laku, tutur, dan nalar dipangkas sembarang dengan senjata indra yang tak pernah terasah, tak pernah terolah, tak pernah berpindah. Hanya diam dalam wadah gaman, mendapat sentuhan ala kadar, namun merasa paling mandraguna. Tak ada istilah berbenah, yang ada hanya semua salah.
Inilah satu alasan, mengapa aku selalu merasa perlu mulai mempelajari sinyal dan transmisi, terutama yang bisa menembus lapisan-lapisan pelindung bumi. Melelahkan sekali menjadi manusia. Tak cukup rupanya menyingkap misteri dalam diri yang temuan-temuannya kadang menghenyakkan, karena masih dituntut menguak misteri manusia lain. Jumawa, sok menguak tabir alam semesta yang terlalu besar. Begitu terintip sedikit yang di luar akal, otak mereka kebanyakan oleng, jadi miring, gila.

Kurang lebih begitu racauanku, di sampingnya, sembari tengadah melihat langit gelap yang membuatnya mampu memunculkan jutaan kerlip cahaya di atas. Ahhh… andai saja aku tak harus mendaki ke atas gunung untuk memandang angkasa seindah ini. Andai saja kota-kota di bawah sana tak terlalu angkuh membuang jutaan daya listrik hanya untuk memamerkan gemerlap palsunya.
“Katanya punya Tuhan. Mengapa tak kau sampaikan saja semua ini pada-Nya? Siapa tahu kau dapat jawaban”, ia berujar.
Aku sadar, bahasanya bukan bahasaku, tapi ada sesuatu yang membuatku memahami ucapannya. Padahal, dia hanya sekadar menggerakkan jari-jemari, sedikit menelengkan kepala, dan membuka mulut mengeluarkan suara seperti “tuktuk tuktuk”, lalu mengedipkan matanya yang besar.
“Sudah, dan kadang aku masih melakukannya. Namun tak jarang, aku merasa perlu pendengar berwujud, yang bisa kulihat gerakannya, kudengar suaranya, kuhidu aromanya…,” jawabku.
“Kawan dan keluargamu? Bukankah mereka memenuhi kriteria pendengar yang kau butuhkan?” tanyanya lagi. Aku diam sejenak, lalu kuhela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaannya.
“Dulu begitu, beberapa waktu yang lalu. Namun itu hanya bertahan beberapa saat. Seiring masa, bertambah usia, segala tak lagi sama. Semua berubah, semua berskala, semua beranjak. Ada yang keluar, ada yang semakin ke dalam.”
Aku kembali diam, ia juga diam.
“Bahkan, apa yang banyak orang bilang sebagai belahan jiwa, semakin lama semakin asing. Belahan jiwa apa… tai kucing!” umpatku.
Aku diam lagi, ia pun diam.
“Semakin banyak pengalamanku menghadapi manusia, bukan semakin habis pertanyaanku terjawab, justru semakin bertambah misteri yang terpampang di depan,” lanjutku.
Lagi-lagi hening…
“Meskipun, semakin bertambah juga kemampuanku mengurai kusut, mengungkap rahasia, menangkap makna, namun bertambah juga rasa benciku pada mereka. Anu…, bukan sepenuhnya benci juga sih. Ada juga kasihan, rindu, bangga…, tapi kadang juga memunculkan iri dan tak percaya diri. Yah…, begitu lah kira-kira,” aku mulai meluap namun juga kehabisan kata-kata.
“Tak perlu kau cerita pun aku paham semua yang ada di kepala dan dadamu,” balasnya.
“Nah! Ngerti kan?” sambungku bersemangat. Aku senang, tanpa perlu banyak kata ia paham!
“Mana ada manusia begini, yang sepertimu, yang tidak perlu banyak ingin tahu dan menghakimi, tapi paham semua tanpa banyak cingcong fafifu wasweswos!” bahasaku mulai kacau.
Dia menggerakkan jari-jemari, sedikit menelengkan kepala, dan membuka mulut mengeluarkan suara seperti “tuktuk tuktuk”, lalu mengedipkan matanya yang besar. Aku tahu, kali ini maksudnya adalah, “Sudah, atau masih mau lanjut?”
“Toh, aku diam pun kau paham semua kan?” tanyaku.
Kembali ia menggerakkan jari-jemari, sedikit menelengkan kepala, dan membuka mulut mengeluarkan suara seperti “tuktuk tuktuk”, lalu mengedipkan matanya yang besar. Kalau sekarang, dia sedang tertawa kecil.
Kali ini tak ada suara selain gemerisik rumput yang tertiup angin bulan Mei. Kalau alam masih terbaca sebagaimana mestinya, bulan-bulan ini biasanya muson timur mulai berembus, meniupkan udaranya yang kering dan hangat. Namun sejak tak berapa lama yang lalu, alam berubah, sehingga bulan Mei ini masih terasa sejuk dan sedikit basah. Setidaknya, begitu yang terasa di gunung ini. Entah apa lagi yang akan terjadi kalau alam tak lagi sama dan mulai tak terduga. Siapa biangnya kalau bukan manusia. Kan? Ada lagi alasanku membenci mereka.
Tak lama, ia mulai menggerakkan jari-jemari, sedikit menelengkan kepala, dan membuka mulut mengeluarkan suara seperti “tuktuk tuktuk”, lalu mengedipkan matanya yang besar.
Kemudian aku terbahak. Bagaimana tidak, tetiba dia bertanya seperti ini, “Kalau saat ini kita sedang ada dalam sebuah adegan film, menurutmu apa judul filmnya?” Aku benar-benar tak menduga pertanyaan absurd seperti ini muncul di tengah pikiranku yang tak kalah mustahil.
“Tergantung,” jawabku, “apa dulu genre filmnya.”
“Apapun yang sesuai dengan yang kau rasakan,” balasnya.
Kali ini, dia yang mendadak terbahak, bahkan sebelum aku menggerakkan bibir. Tentu saja dengan caranya yang menggerakkan jari-jemari, sedikit menelengkan kepala, dan membuka mulut mengeluarkan suara seperti “tuktuk tuktuk”, lalu mengedipkan matanya yang besar. Bedanya, kali ini gerakan tersebut berulang dan agak lama. Dia terpingkal-pingkal, dan aku tahu dia bergumam, “Serius kamu akan beri judul seperti itu? ‘Kasih Bersemi di Bulan Mei’? Yang benar saja!”
Masih menggerakkan jari-jemari, sedikit menelengkan kepala, dan membuka mulut mengeluarkan suara seperti “tuktuk tuktuk”, lalu mengedipkan matanya yang besar, berulang-ulang. Aku jadi ikut terpingkal, tak habis pikir, karena bahkan akupun tak akan sudi melihat cuplikan film dengan judul semacam itu! Dangkal. Bukan seleraku sama sekali. Mirip judul film tahun 70-an.
Setelah tawa kami mereda, sejurus kemudian ia bangkit. Menatapku, dan tentu saja aku paham yang dia ucapkan dengan ritual gerakannya.
“Kendaraanku sudah datang, aku pergi dulu. Lain kali mungkin bisa kita lanjutkan,” begitu katanya.

“Tapi bagaimana caranya? Aku belum tentu bisa menghubungimu,” ujarku dengan nada sedikit kecewa karena aku masih ingin bersamanya.
“Sempurnakan saja alatmu. Kalibrasi sinyal dan transmisimu secara berkala. Siapa tahu pola gelombangnya terbaca dari kendaraanku, dan setelah itu kau tak perlu khawatir, karena aku yang akan mengirim kode melalui perangkatmu,” itu ucapan terakhirnya.

Kemudian dia mendongakkan kepala, mengangkat tangan, lalu kilau serupa lampu kilat kamera muncul begitu cepat, dan ia lenyap. Aku menutup mata menghindari silaunya, namun masih bisa terlihat sebentuk benda, melesat cepat menyerupai bintang jatuh, nyaris tak kasat mata.
Kalian pikir bentuknya seperti piring, berputar-putar, memancarkan cahaya berwarna hijau? Hahaha… SALAH BESAR!
Itu lebih mirip saringan teh, yang bulat seperti telur, dengan lubang-lubang di bagian bawahnya, bisa diputar lepas untuk memasukkan daun teh, dan ada rantai kecil untuk menggantungkannya di gelas. Bedanya, ini tanpa rantai. Hanya sebentuk tonjolan mencuat di bagian atasnya, memunculkan pendar layaknya aurora. Indah sekali.
Tak sadar, aku meneteskan air mata. Masuk ke hidung saat terisak, srooot… dan aku gagap bangun terduduk. Masih di sini, di kamarku, menghadap laptop yang layarnya juga masih menyala, memunculkan adegan sebuah film yang berhenti karena terjeda tombol pause.
Gelas kopiku yang tadi isinya masih panas, kini sudah dingin dan tinggal seperempat isi. Untung tidak tumpah.

Heh, itu cicak yang tadi menempel di tembok atas pintu, sejak kapan bersembunyi di belakang gelas kopiku?
Melihatku bangkit, ia menggerakkan jari-jemari, sedikit menelengkan kepala, dan membuka mulut mengeluarkan suara “ckckckck…”, mengedipkan matanya yang besar, lalu segera merayap pergi.