Malam tadi, kuterbangun 3 kali dari tidur lelap yang tak lama sebelum ini jarang kunikmati.
Pertama, oleh gemuruh hujan yang tercurah tumpah membabi-buta, membuatku sedikit was-was, karena otakku berteriak, “Sial, jemuran!” Namun seketika hatiku bergumam, “Abaikan saja, kamu jarang tidur nyenyak, tak usah risau.” Lalu kembali tidur.
Kedua, aku terbangun dari mimpi dengan perasaan sedih dan kecewa, karena barang berharga yang kumiliki hilang, dan entah bagaimana, aku tahu barang itu dicuri sosok ternama yang menjadi temanku. Hampir mustahil. Masih jelas bagaimana aku menerobos rombongan pesta pengantin, yang sepertinya berlogat Batak, namun bukan dari kalangan atas, di alam itu. Bergelut kecewa dan sedih, kuseret badanku ke kamar mandi, mengosongkan kantong kemih. Lalu kembali tidur.
Ketiga, aku terbangun dari mimpi dengan perasaan sedih dan kecewa, oleh seorang sekutu yang menipuku. Untuk yang ini, otakku menolak ingat peristiwa, namun tergambar jelas sosoknya. Lalu aku tak kembali tidur.
Semesta tampaknya bersekongkol, menyaji fajar berbalut mendung menggantung, pekat tak tanggung, membuat pagi tak layak disebut pagi.
Bagaimana dua mimpi menyampaikan pesan sama pada malam sekali jalan? Siapa para pembawa sesal di semesta nyata? Kapan mereka datang jika sesaat saja terpampang lalu hilang? Mengapa gambarnya tanpa buram, begitu jernih dan berwarna? Apa sebenarnya nubuat tersimpan yang tak terkuak dalam benak? Aku tertegun.
Hari ini kulalui dengan menatap banyak wajah, bercakap banyak bincang, mendengar banyak suara, mengindera banyak rasa. Melelahkan. Membuatku kering.
Menjelang petang, dengan langit seperti pagi yang bukan pagi tadi, kuhela nafas sembari memejamkan mata dan bergumam dalam hati…
“Aku benci manusia.”
