Seketika yang Lalu

Kadang mendengar alunan musik instrumental di pagi hari sejuk yang tenang bisa agak sedikit berbahaya bagiku. Irama menenangkan, hampir pasti akan membawa segala kenangan tanpa keriaan yang mampu disimpan hippocampus sistem limbikku dan mengembalikan kejadian nyaris sempurna. Pernah suatu pagi, aku mendadak terisak sesak mengingat sesal lampau tak berkesudahan. Kemudian di satu pagi lainnya, aku tercenung diam beberapa lama, mengindra sakit dendam marah, dan rasa-rasa yang jika mampu aku kembali akan kulakukan kebalikan tindakanku masa itu. Jika saat itu aku diam, aku akan berteriak. Jika saat itu aku pasrah, aku akan berontak. Jika saat itu aku marah, aku akan tenang. Semuanya, asal bukan yang saat itu. Andai saja.

Namun kemudian, setelah kupikir-pikir, alunan musik ini tidak serta-merta berbahaya. Beberapa saat setelah segala ingatan lalu terdedah, air mata tertumpah, marah memaksa serapah hingga aku merasa lelah, jiwaku terasa ringan tercerah. Aku menemukan celah agar tidak kembali melakukan tindak bodoh seperti yang sudah-sudah. Aku merasa bertenaga.

Apa ini yang disebut terapi? Bisa jadi. Tapi yang pasti aku kemudian sadar diri. Sepele sekali hidup ini. Terkoyak begitu saja dipancing alunan sitar seruling dengan gemericik air. Apalagi angin sejuk bertiup membawa kicau cuitan burung, dan sesekali eretan tonggeret di sela-sela gesekan daun bambu. Itu saja bisa bikin jiwa porak-poranda. Sungguh rapuh.

Sejurus lalu, tarikan nafas dalam mengisi kepala, membasuh segar udara yang mengalir merelung kalbu. Tenang, damai, diam. Kepingan retak menyusun ulang. Pecah sana-sini, namun menyatu. Cacat, namun utuh. seketika tubuh sekujur merasa sejuk bersih ringan tanpa beban. Melihat rongsok rusak tampak indah menyatu dengan yang baru.

Tidak terjadi setiap hari, hanya terkadang. Biasanya ketika terlalu banyak gambar dan suara bermunculan, riuh, dan aku hanya bisa diam. Mengizinkan mereka ambil panggung, meneriakkan kegundahan. Alunan musik instrumental membuat segala hingar tersadar, ada yang lain selain rasa. Logika.
Menemukan awal, menelusur jalur, mengambil langkah, menyusun keping, menambal pecahan, mewadah gulana, menatap arah. Semuanya masuk akal, wajar beralasan.

Aku kemudian menyelesaikan segala buncah dengan secangkir kopi. Pekat, namun tidak terlalu pahit sebagaimana aku biasa menyeduh tanpa gula. Aku menambahkan sedikit susu dan serbuk jahe untuk menawar ketar dan menghangat rasa setelah terserak luka. Aku berterima kasih pada segala jenis robusta, arabica, ekselsa, racemosa, luwak, dan liberica yang setia menemani setiap pagi dengan segala tabula rasa yang menyertainya.

Pada akhirnya aku juga berterima kasih pada hembusan angin, tiupan seruling, petikan sitar, kicau burung, eret tonggeret, dan gesek dedaunan yang mengaduk segala indra di pagi hari sejuk yang tenang. Aku berterima kasih pada semesta yang membuat ada.

***

Iklan

Alienship

Alienship

Mungkin aku perlu mempertimbangkan untuk mulai mempelajari sinyal dan transmisi. Terutama yang bisa menembus lapisan-lapisan pelindung bumi, agar bisa tertangkap alien. Lalu aku bisa menjalin kontak dengan mereka, berinteraksi, berkenalan lebih jauh, dan menjalin hubungan. Kalau aku mengatakan hubungan, maksudnya adalah hubungan percintaan. Meskipun aku agak risih menggunakan satu kata itu. Betul, mungkin aku perlu mempertimbangkan menjalin hubungan dengan alien. Tak peduli bentuk wujudnya seperti apa.

Siapa yang tahu kalau alien memang bentuknya aneh-aneh seperti dalam film-film fiksi ilmiah yang sering diputar di televisi dan layar lebar? Tidak ada yang pernah benar-benar melihat alien, aku rasa.
Kalaupun memang bentuk rupa mereka memang seaneh yang ditampilkan selama ini, tidak ada juga yang benar-benar tahu sifat, watak, dan perasaan mereka. Bisa jadi hanya bentuk luarnya saja yang tidak menarik, namun ternyata di dalam, mereka memiliki penginderaan dan kepekaan yang jauh lebih manusiawi. Istilah manusia untuk memberi standar bagaimana seharusnya menjadi manusia, yang selalu mengklaim makhluk paling sempurna ciptaan Tuhan. Terdengar sombong, menurutku.

Ya, rasanya aku perlu menjajagi untuk menjalin hubungan dengan alien. Menjalin hubungan dengan manusia sangat melelahkan. Banyak yang harus dijaga agar hubungan tetap aman, lancar, tenteram. Bahasa iklannya, harmonis. Harmonis eek komodo!
Tidak ada yang namanya hubungan harmonis. Seolah-olah harmonis, itu baru ada. Jangankan hubungan dengan umatnya, hubungan dengan seorang diantaranya saja bisa bikin stroke. Bayangkan, dua tubuh manusia, dua kepala, dua hati, dua jiwa, dua perasaan yang berbeda, lalu bersama menjadi satu entah dalam ikatan atau tidak, bermanis manja pada masa percaya, lalu berpahit abai pada masa bengkalai.
Adapun hubungan harmonis, jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Jari Btari Durga lah, paling tidak, yang tangannya banyak. Tapi coba cermati, seharmonis apapun sebuah hubungan, akan ada pihak yang mengalahkan, dan ada yang (bersedia atau terpaksa) dikalahkan. Meskipun ada istilah yang lebih sejuk damai dan membenarkan. Mengalah.

Mengalah bukan berarti kalah, mengalah lebih bijaksana, mengalah untuk menang, dan banyak penyemangat lain bagi si pengalah. Utekmu njepat! Coba, pernah kalian tahu apa yang dirasakan si pengalah? Yang selalu mencoba memahami? Inginkah mereka dipahami sesekali? Dimenangkan sesekali, atau sekedar dibuat merasa seimbang?
Namanya manusia, kalau mau disebut manusiawi, pasti punya rasa lelah. Eits… hati-hati mengeluarkan kata ini. Pihak yang mengalahkan, akan bisa berasumsi lain. Bisa dengan mudah berkata, “Baiklah, maaf kalau telah membuat lelah, mungkin lebih baik sudah saja”. Sudah lambemu! Dipikir kalau sudah, terus beres? Yang menyudahi, bisa ketemu orang yang mau mengalah, seperti yang disudahi ini? Ya bagus kalau demikian. Kalau tidak, ya selamat nglangut. Yang disudahi, mungkin berpikir, “Sudah, begitu saja? Setelah mati-matian bersedia kalah, lalu… begitu saja? Buat apa selama ini bersedia menahan amarah?” Jancuk! Ndlégék tenan!
Dan banyak lagi tetek-bengek lainnya. Aku bosan pakai kata ‘drama’. Tetek-bengek saja, lebih bikin melek. Kalian boleh tidak sependapat denganku, toh ini adalah pemikiranku, yang mungkin terlalu banyak melihat (dan merasa), bahwa hubungan dengan manusia itu melelahkan.

Jadi, kembali ke pertimbangan awal tadi, barangkali alien adalah makhluk yang layak diperhitungkan untuk menjalin hubungan.
Siapa yang tahu, alien bisa membaca maksud hati tanpa komunikasi?
Siapa yang tahu, alien mampu berempati sebelum muncul tragedi?
Siapa yang tahu, alien dapat bertenggang rasa tanpa prakarsa?
Siapa yang tahu bisa, kalau belum dicoba?

Baiklah, aku akan mulai mempelajari sinyal dan transmisi. Terutama yang bisa menembus lapisan-lapisan pelindung bumi, agar bisa tertangkap alien. Aku akan merakit pemancar, agar alien bisa menangkap sinyal dan transmisiku dengan lancar. Aku akan menyusun rencana tahap awal.
Pertama, aku harus membuat kopi. Panas, tanpa gula, hitam. Lalu memasang headphone peredam suara, dan memutar musik. Atau mungkin juga bisa kuawali dengan membaca buku roman picisan, sebagai penyegaran agar otak jernih. Ah, tidak… aku mau menonton film dulu saja.

* * *

Heh? Sejak kapan itu cicak nempel di tembok atas pintu? Matanya hitam bulat, mirip kamera pengawas. Jangan-jangan dia utusan alien?
Haish…karepmu. Aku mau bikin kopi dulu.

Citra Warni Hari Ini

Citra Warni Hari Ini

Aku tidak mengingat hari berdasarkan nama, seperti manusia. Aku tidak mengingat hari, tapi aku melihatnya. Ya, aku melihatnya berupa warna dan beberapa tanda yang hampir selalu muncul bersamaan dengan citra saat itu.
Seperti ini misalnya…
Aku melihat warna hijau, ketika beberapa manusia lebih memilih bangun siang, bersantai dan bermalasan. Beberapa lagi memilih bangun pagi dan melakukan aktivitas sesekali selama beberapa warna, biasanya olahraga atau hanya sekedar pergi ke pasar membeli jajanan. Beberapa yang lain lagi bangun pagi, berpakaian rapi dan berdandan santun, membawa buku berisi doa dan pujian, lalu pergi ke sebuah tempat bernama gereja. Begitu yang aku dengar dari percakapan mereka.

Warna kuning adalah ketika hampir semua orang malas bangun, atau bangun terburu-buru. Ini adalah hari yang sepertinya dibenci oleh hampir semua manusia. Sehingga ketika mereka bisa bertahan melewati hari itu, sepertinya sepanjang warna-warni berganti hingga hari kuning kembali, semua akan baik-baik saja.

Setelah kuning, hari akan berganti merah muda. Pada saat ini, sepertinya dunia mulai membaik. Manusia sudah berhenti mengeluh, tidak seperti saat hari berwarna kuning. Mungkin sudah mulai terbiasa, atau bisa jadi mereka mulai sadar bahwa mau tidak mau semua warna akan berganti. Entahlah.

Merah mudah berlalu, berganti tosca. Dulu aku agak bingung dengan warna ini, karena warnanya nyaris hampir sama dengan hijau dan biru. Tapi seiring waktu, aku mulai bisa membedakannya. Aku tahu istilah ini saat menempel di dinding sebuah rumah yang akan dicat. Orang-orang berkata dindingnya dicat warna tosca. Baru aku tahu nama warna untuk hari itu.

Tosca hilang, coklat datang. Di hari ini, manusia sepertinya mendapat energi baru untuk mempersiapkan kedatangan hari yang mereka tunggu. Nanti aku kasih tahu warna apa. Aku sering mendengar celotehan manusia untuk melakukan ibadah sunnah rosul saat hari berwarna coklat. Awalnya aku tidak tahu itu apa, tapi suatu saat ketika aku sedang menempel pada sebuah dinding rumah, aku tahu apa yang mereka maksud. Kapan-kapan aku ceritakan. Hihi…

Jingga muncul setelah coklat. Ini hari yang menurut manusia adalah hari yang pendek. Aku juga awalnya tidak paham apa maksudnya, karena menurutku durasinya juga sama saja seperti hari-hari lainnya. Namun ketika hari berwarna jingga, aku melihat banyak manusia lelaki bersiap pergi ke sebuah tempat bernama masjid. Dan ketika hari ini sudah menjelang gelap, banyak manusia bersukacita karena setelah hari ini adalah hari yang mereka tunggu-tunggu selama beberapa warna berganti.

Dan akhirnya, inilah hari yang mereka tunggu, warnanya biru. Biru adalah hari dimana banyak manusia bahagia karena mereka tidak harus bangun pagi dan melakukan rutinitas seperti hari-hari lainnnya. Memang tidak semua manusia, tapi sepertinya ini adalah hari saat manusia yang tidak sibuk di hari lainnya pun tidak akan merasa berdosa jika bermalas-malasan.
Kebanyakan mereka punya 2 hari untuk bisa seperti ini, saat hari berwarna biru dan hijau. Karena setelah hijau berlalu, hari kuning akan kembali mewarnai hidup mereka.

Maka, begitulah aku mengingat hari. Meskipun pada akhirnya aku tahu, warna-warna itu memiliki nama, karena aku sering mendengar manusia mengucapkannya. Minggu-Senin-Selasa-Rabu-Kamis-Jumat-Sabtu.
Tapi aku lebih suka melihatnya berwarna-warni.
Lain kali aku ceritakan pengalaman seru di warna-warni itu. Sekarang aku lapar, mau berburu nyamuk. Sampai ketemu di warna lain, semoga warna kalian menyenangkan.

Oya, aku adalah seekor cicak.

metode-pemilihan-warna

Warna

Akad Sebahat

Akad Sebahat

Aku berteman dengan siluman.
Siluman apa? Aku sendiri bingung… Dia mengaku siluman kucing, padahal aku yakin benar dia siluman ikan. Bagaimana mungkin dua siluman predator dan mangsa menyatu dalam satu entitas?
Aneh bukan? Tapi, sudahlah. Kalian tak usah ikut memikirkannya. Percaya saja kalau dia siluman.

Aku hampir yakin kalian mengira aku sesat, pengabdi iblis, pemuja ilmu hitam, atau apalah karena berteman dengan siluman. Pendapat itu mungkin tidak salah, tapi tidak benar untuk pengalamanku. Jadi, biarkan aku cerita bagaimana aku bisa berteman dengan siluman kucing padahal siluman ikan ini pada kalian.

Mungkin di dunia siluman, manusia adalah makhluk halus. Jadi ketika para siluman khilaf, tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan untuk meraih apapun yang mereka inginkan, salah satu jalan pintasnya adalah bersekutu dengan manusia. Padahal mereka paham, itu kesalahan besar bagi mereka, kaum siluman.

Maka entah bagaimana, tiba-tiba saja aku dipertunjukkan oleh alam semesta pada siluman kucing padahal siluman ikan ini. Terjadilah permufakatan, dan akupun memenuhi segala keinginannya.
Jika biasanya kalian mengenal tumbal dalam kesepakatan dengan dunia lain lintas alam, sedikit berbeda dengan kami. Kami hanya sepakat diam, tak mengusik, tak berisik, dan kadang boleh saling menggendam. Hanya jika diperlukan.

Selama beberapa waktu, aku mampu memenuhi hampir segala permintaan, hingga akhirnya dia bisa keluar dari jerat masalahnya. Aku agak tenang, tidak perlu berpikir berat. Sampai pada suatu masa ketika kesaktianku mulai berkurang. Aku menduga, ini mungkin karena sumber tenagaku yang selama ini terasup dengan baik, mulai pasang surut.

Aku masih mampu bertahan dalam peperangan dan adu kanuragan dengan kesaktianku yang sekarang, namun aku hanya mampu bertahan untuk diriku sendiri dan tidak dalam kapasitas melindungi pihak lain. Pun demikian, masih banyak orang yang datang memohon-mohon untuk mendapatkan jaminan keamanan, mengingat sebelumnya, kapanpun hidup mereka terancam oleh ulah perampok, atau nyawa mereka teregang akibat kebodohan mereka sendiri, aku selalu siap siaga bilamana mereka perlukan.

Menyadari hal ini, aku kembali bermufakat tanpa syarat dengan siluman kucing padahal siluman ikan ini. Namun kali ini, bukan dia yang mengumpan menyan kemangi abu setanggi, melainkan aku.
Dia hanya menjawab datar ketika aku menyampaikan maksud dan tujuan kehadiranku. “Kau dulu tak meminta tumbal ketika aku bersekutu padamu, maka kini giliranku mencukupkan lakumu”. Begitu katanya.
Maka, sejak saat itu, siluman kucing padahal siluman ikan inilah yang membuatku mampu bertahan dengan kesaktianku yang pasang surut.
Sebenarnya aku sudah terbiasa mengalami hal ini, bahkan selagi masih perjaka dan mandraguna. Namun semakin lama, aku merasa kesaktianku ini sungguh memaksa ragaku lelah. Lahir batin.

Sebagai manusia, makhluk halus bagi kaum lelembut, sudah beberapa kali aku menjadi sekutu beragam siluman setan demit. Dari sekian siluman yang pernah bersekutu denganku ini, aku paling hafal kelakuan siluman-siluman makhluk air. Termasuk siluman yang mengaku kucing padahal ikan ini. Bagaimanapun dia mengaku siluman darat, jiwanya benar-benar makhluk air.

Siluman-siluman air dan makhluk-makhluknya sungguh membuatku tak habis pikir. Mereka adalah siluman paling melelahkan untuk dipahami. Kadang ketika aku berpikir mulai bisa mengikuti jalan pikiran mereka, bisa saja mereka tetiba berbelok tanpa tanda. Namun ketika aku melepasnya, ulah mereka bisa berputar kembali ke arah sebelumnya serta-merta.

Meskipun banyak di antara mereka memiliki sihir tingkat tinggi, namun kadang mereka tidak mempergunakan itu layaknya sihir mutakhir yang bisa membawa manfaat. Mereka akan menggunakannya untuk keperluan yang harus mereka sendiri yang tahu dan mau, tak peduli apakah semesta sedang memerlukannya atau tidak.

Mereka makhluk yang sangat rapuh dan rentan, namun tak mau disebut lemah.
Mereka makhluk yang labil, namun tak mau disebut plin-plan.
Mereka makhluk yang lunak, namun tak mau disebut lembek.
Mereka makhluk yang bersolek, namun tak mau disebut genit.
Mereka makhluk yang pelupa, namun tak mau disebut pikun.
Satu lagi, mereka adalah pemberi harapan, namun sesungguhnya sedikit mengumbar janji. Jangan disebut.

Saking lelahnya, aku merasa perlu menyudahi permufakatan ini. Beberapa kali sempat terpikir dan bertanya pada diriku sendiri, siapkah kulepas akad sebahat ini? Toh, siluman itu kini sudah mapan di alamnya, dan aku tak meminta tumbal. Lepas traktat, habis perkara.

Namun jujur, saat ini ragaku tidak terlalu siap jika tetiba saja terhantam jurus dan prana dari luar yang kadang datang bertubi tanpa permisi. Dan saat ini, kesaktian dari alamnya adalah salah satu penguatku. Permufakatan tanpa pakta ini, mau tidak mau, suka tidak suka, memang cukup membantu. Untuk sementara, sembari terus menjaga mantra melatih kanuragan, aku tak perlu terlalu berat memutar otak agar paling tidak kesaktianku mampu bertahan bilamana serangan menghunjam paksa untuk beberapa lama. Tapi sampai kapan?

Siluman-siluman makhluk air bukan jenis siluman yang bersih, meskipun kalian mungkin berpikir sebaliknya. Karena bagaimana tidak, mereka berada di air setiap saat, pasti senantiasa segar, sejuk dan kalis nirmala. Jangan salah, justru sebaliknya. Dari sekian siluman makhluk air yang pernah bermufakat denganku, hampir semuanya tidak resik.
Tapi jangan sekali-kali kalian menyinggung atau meminta mereka membersihkan diri atau melakukan apapun yang tidak ingin mereka lakukan, kalau kalian tidak ingin menelan kekesalan.
Mereka tidak akan menerima saran, usul, atau nasihat, apalagi yang kesannya memerintah, meskipun untuk kebaikan mereka sendiri. Kalian akan dianggap hendak mengubah mereka menjadi bukan mereka. Percayalah.

Aku tahu ini akan bisa menjadi runyam, entah dalam bentuk apa dan bagaimana. Namun untuk saat ini, aku belum bisa menemukan cara terbaik mengambil jalan tengah mengatasi mufakat yang nampak sesat ini.
Yang bisa aku lakukan saat ini hanyalah membuat diriku nyaman, dan memendam gejolak jiwa tanpa memunculkan prahara, baik untuk duniaku maupun alam siluman. Aku merasa seperti membesarkan seorang anak dalam raga sesosok siluman.
Siluman kucing padahal siluman ikan.

 

selkie-girl
The Seal People

Photo credit: Celtic-weddingrings.com

Celathu Bisu

Celathu Bisu

Pada akhirnya, aku tak bisa mengatakan bahwa aku tidak membutuhkannya. Tanpanya, aku mungkin tak akan bisa melakukan gerak-gerik ejawantah. Aku berterima kasih mendapatkannya, yang utuh tanpa daksa, meskipun keterbatasannya membuatku terperangkap batas badani.

Bagaimana aku bisa menemukan diriku sendiri dalam semesta luas berbatas lulang?
Sejauh rekadayaku mengupa atma, aku hanya mampu mendengarnya bertanya “siapa kamu?” yang tak kuasa terjawab.

Dulu…, dulu sekali, saat belia, ketika semua masih berjalan lambat dan terlihat menyenangkan, dia sering tepekur menatapku. Di depan cermin.
Ya, dia menatapku di depan cermin.
Dengan polosnya bertanya berulang-ulang.
“Siapa kamu?”
“Siapa kamu?”
“Siapa kamu?”
Sampai bosan.

Seringkali aku merasakan desakan kuat untuk menjawabnya. Aku menyeruak semesta ragawi rapuhnya, membuat rambut-rambut halus di kulit lembutnya terpaksa berdiri demi memberiku ruang.

Aku merasakan degup jantungnya.
Aku melihat tatapan mata polosnya.
Aku mendengar suaranya terus berucap pelan, “Siapa kamu?”
Aku memahaminya. Utuh.
Namun aku tak bisa menjawab.

Dia diam.
Aku tahu dia sedang merasakan kehadiranku.
Aku memahami senyum di bibirnya yang diam rapat.
Aku menyadari ketulusannya mengundangku.
Aku menerima ajakannya dalam hening.
Dia mengucap dalam senyap, “Mari berteman denganku…”

Sesaat kami memeluk ruang kosong bersama. Menikmati keakraban nirmasa dalam pertemuan tak terduga.
Damai…
Bersih…
Murni…
Waktu hilang, dan semua terasa…abadi.

Entah apa yang biasanya memutus pertemuan ini, namun setiap kali kami sedang menata cata meraba herdaya, tetiba saja aku terhisap segala rangka wujud mungilnya. Aku hilang darinya.

Pantulan bayangannya terhenyak, dan mulut kecilnya berkata tanya, “Kamu sedang apa?”, lalu aku benar-benar terlupakan.

Kami masih sempat beberapa kali bertemu panggil, sebelum masa memaksanya akil.
Suatu kali pernah, barangkali dia rindu bertemu atau hanya membunuh jemu, mencoba menatapku seperti dia lakukan masa tadika dulu. Di depan cermin.
Tanpa polosnya bertanya berulang-ulang.
“Siapa kamu?”
“Siapa kamu?”
“Siapa kamu?”
Sampai sebelum bosan.

Aku bahkan belum sempat merasa tergerak menyeruak semesta ragawinya yang tak lagi rapuh, meskipun aku merasa rambut-rambut halus di kulitnya yang kini liat terpaksa berdiri. Namun bukan demi memberiku ruang. Aku lebih menyadarinya sebagai ketakutan. Ya, dia takut! Dia takut kenyataanku!

Pantulan bayangannya terhenyak, dan mulut dewasanya berkata tanpa tanya,

“Kamu gila!”.

Aku merasakan diriku tersisir nyaris hilang. Dia bersama siapa? Apa yang mengendalikan tulang-belulang wak dagingnya? Bagaimana dia mengolah raganya?
Akukah yang kehilangannya? Atau diakah yang tak lagi menyadariku?

Aku mencari, lagi, lagi, dan lagi.
Semakin kala berkala, aku semakin merajalela.
Aku bertanya, kali ini padanya, “Kamu siapa?”

Sungguh aneh… Aku merasa, semakin kupikir dan berusaha mencari tahu siapa, semakin tak kutemukan jawabannya.
Bahkan yang kurasa terdekat pun asing.

Jadi, apakah aku membutuhkannya, jika pada saatnya kelak aku akan kehilangannya?
Ataukah dia yang sebenarnya memerlukanku?

Pada akhirnya, aku tak bisa mengatakan bahwa aku tidak membutuhkannya. Tanpanya, aku mungkin tak akan bisa melakukan gerak-gerik ejawantah. Meskipun akhirnya aku tahu, akulah yang terikat diriku sendiri. Dia tanpaku, mati. Aku tanpanya, fana.

Oya, perkenalkan, aku Jiwa.

 

https://gfycat.com/gifs/detail/CloseGorgeousGermanshepherd
Soul

Sengkalang

Sengkalang

Buku itu berisikan nama semua anaknya beserta arti dan bagaimana kehidupan mereka di masa depan kelak. Lembar-lembar tulisan tangan itu hilang raib entah kemana.
Begitu sedikit percakapan dua orang ayah anak di suatu pagi.

Anaknya baru saja membongkar setumpuk lembaran lusuh dari dalam tas tua yang ia temukan di ruang kerja. Ruang itu sebetulnya lebih mirip gudang karena dipergunakan untuk menyimpan bermacam barang, terutama milik anak-anaknya yang kini semua merantau di ibu kota.
Tas tua itu tergolek di dalam lemari meja bersama dengan benda serupa di dalamnya. Tas dan semacam dompet-dompet besar ukuran ijazah yang berisi  entah kertas-kertas apa.
Anaknya menarik bundelan kertas tua bertuliskan aksara jawa, mengamatinya sambil tercenung, mungkin mencoba kemampuannya membaca aksara kuno yang dulu pernah dipelajari di bangku sekolah dasar, atau menguji imajinasi dengan melemparkan dirinya ke masa lalu dan membaca surat-surat berulir gores penuh wibawa.

“Surat ini diantarkan dari Keraton Kidul ke rumah, naik kereta kerajaan untuk Eyang Putri. Abdi dengan seragam lengkap dan payung kerajaan yang mengantarnya”, suara ayahnya menghentikan senyapnya.

Menurut sang ayah, yang sudah berulang kali menceritakan kisah ini pada anak-anaknya, Eyang Putri berasal dari Keraton Kidul, istilah untuk menyebut Kasunanan. Sedangkan Eyang Kakung berasal dari Kadipaten, Mangkunegaran mereka menyebutnya.

“Eyang Kakung sering dipanggil Ndoro Ronggo, karena beliau yang memegang kunci perpustakaan keraton. Hanya beliau yang memiliki izin penuh atas semua buku di dalamnya selain pemerintah Belanda dan beberapa gelintir orang yang mendapat keistimewaan dari kumpeni”, lanjut ayahnya.

“Suatu saat, Eyang Kakung menulis buku, semua huruf ditulis dengan tangannya sendiri. Buku itu berisikan nama semua anaknya beserta arti dan bagaimana kehidupan mereka di masa depan kelak. Lembar-lembar tulisan tangan itu hilang raib entah kemana. Itulah mengapa, ayah tidak heran jika nasib kalian seperti sekarang”, tutupnya mengakhiri cerita.

Anaknya mengernyitkan dahi… Apa maksudnya dengan “nasib kalian seperti sekarang”? Ada apa dengan nasib kami? Begitu sekira arti kernyitan dahi dalam suara diamnya, sebelum dia kembali menatap lembar-lembar pudar lusuh yang dipegangnya dengan hati-hati.

* * *

“Aku mendapat winarah dalam hening pustaka tentang nasib aliran darahku. Aliran yang akan bercampur dengan tubuh istriku, dan keluar sebagai para warisku. Aku bahkan tahu bahwa darahku akan mengalir di tapak aspal menyambut ragaku.
Aku akan menuliskan semuanya, dan hanya salah satu anakku yang boleh mengetahuinya. Semoga dia bisa memaknai gurat tersembunyi di baliknya tanpa begitu saja membacanya secara harfiah”.

Pena basah berbatang kayu menemaninya malam itu menorehkan lengkung-lengkung aksara dengan temaram dian, dalam keheningan wigraha pustaka dan aroma serat-serat daluwang.

* * *

“Dhimas, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu sebelum nafasku membeku…”

“Dulu, bapak pernah menunjukkan padaku sebuah buku yang pernah ditulisnya setelah mendapat winarah. Nasib, nama, dan suratan warisnya semua tertuang, tak terkecuali. Dia tahu, aku tahu. Ibu… aku tak yakin dia tahu. Mungkin”.

“Aku tak ingin mendahului Gusti Pangeran dan alam semesta. Apabila kau menemukannya… simpan. Simpan dan jangan kau jadikan garis nasib. Simpan sebagai warisan bapak. Sebagai penghormatan atas karyanya. Itu saja…”

“Mendekatlah, akan aku ceritakan sedikit tentangmu dan anak-anakmu…”

Sang kakak tak pernah menyelesaikan suratan adiknya, bahkan untuk memberitahukan di mana buku itu tersimpan…

* * *

Semua peninggalan bapak yang disimpan kangmas sebagian besar sudah kurapikan. Kujadikan satu bendel dalam sebuah map dan kumasukkan ke dalam tas. Semuanya, termasuk edaran-edaran dari keraton, ijazah sekolah rakyat ibu, surat nikah bapak dan ibu, semua. Tapi aku tak menemukan buku tulisan tangan bapak seperti yang diceritakan kangmas. Apa yang sebenarnya ditulis bapak tentang kami, anak-anaknya? Dia hanya sempat menceritakan sedikit mengenai nasibku dan anak-anakku kelak. Sedikit sekali. Sangat samar. Aku bukan ingin mendahului masa depan, aku hanya ingin lebih dekat mengenal bapak.

Aku masih SMP ketika bapak mengalami kecelakaan. Bapak terhantam mobil ketika akan turun dari bus yang membawanya ke rumah kangmas. Dia ingin menjenguk cucunya, putri kangmas yang baru saja lahir. Namun alam semesta memenuhi janjinya tanpa tunda. Bapak menyerahkan raganya di atas aspal yang tergenang darahnya.

Mungkin memang harus berhenti di sini. Mungkin memang hanya bundel kertas-kertas lusuh ini yang bisa kusimpan untuk mengenang bapak dan ibu. Mungkin suatu saat kelak, aku hanya akan bisa menceritakan kisah ini pada anak-anakku, entah mereka percaya dan bangga akan kebesaran leluhurnya, atau mereka hanya akan menganggapnya sebagai dongeng.

* * *

20171219000719
Dokumen Eyang

Piring Itu …

Piring Itu …

piring
stack of plates

Adalah piring resepsi, dalam pesta pora riuh ria perkawinan, kelahiran, segala selamatan dan sukuran. Ini resepsi istimewa, tumpukan piringnya selalu sama.

Piring teratas adalah orang tua dari kakek neneknya.
Piring di bawahnya adalah kakek neneknya.
Piring di bawahnya lagi adalah ayah ibunya.
Piring di bawahnya, siapa lagi kalau bukan dia dan mereka.
Piring paling bawah adalah anak-anaknya.

Ini adalah tumpukan paling lengkap dari keluarga piring. Lalu tamu-tamu mengular, menanti giliran mengambil hidangan, mengubah tatanan tumpuk keluarga piring.

Tamu pertama, mengambil orang tua kakek neneknya. Diisinya dengan nasi, lauk-pauk, dan kerupuk. Nyawa.
Tamu kedua, mengambil kakek neneknya. Diisinya dengan nasi, sayur-mayur, sup, dan sambal. Jiwa.
Tamu ketiga, mengambil ayah ibunya. Diisinya dengan lauk-pauk, sayur-mayur, kerupuk. Tanpa nasi. Sukma.
Tamu keempat, mengambil dia dan mereka. Diisinya dengan sayur-mayur bersiram saus asam dan buah saja. Atma.
Tamu kelima, belum ingin makan. Piringnya tidak diambil. Tapi diganti.

Para sinom tak henti mengisi kembali nampan-nampan kosong dan mengganti tumpukan piring untuk ambilan tetamu berikutnya. Ini resepsi istimewa, tumpukan piringnya selalu sama.
Piring orang tua kakek nenek.
Piring kakek nenek.
Piring orang tua.
Piring dia dan mereka.
Piring anak-anaknya.
Lalu datang seorang tamu, sangat santun. Mengambil piring kakek nenek, setelah tamu di depannya mengambil piring orang tua kakek nenek.
Namun tamunya tak terlalu lapar. Piring kakek nenek dikembalikan. Tentu saja di atas tumpukan piring dia dan mereka, karena piring orang tua sudah diambil tamu belakangnya.

Para sinom tak henti mengisi kembali nampan-nampan kosong dan mengganti tumpukan piring untuk ambilan tetamu berikutnya. Ini resepsi istimewa, tumpukan piringnya selalu sama. Namun tumpukan terkini sedikit berbeda, karena tamu santun tak terlalu lapar.

Piring kakek nenek.
Piring dia dan mereka.
Piring anak-anaknya.
Tamu berikutnya, berbaju gamis, lengan panjang. Mengambil kembali piring kakek nenek milik tamu santun yang tak terlalu lapar.

Para sinom tak henti mengisi kembali nampan-nampan kosong dan mengganti tumpukan piring untuk ambilan tetamu berikutnya. Ini resepsi istimewa, namun kini piringnya tinggal dua.
Piring dia dan mereka.
Piring anak-anaknya.
Tamu kemudian, datang berpasangan. Lelaki bersarung batik, mengambil piring dia dan mereka.
Wanita berjarik lurik, mengambil piring anak-anaknya.
Tumpukan segera kosong, sinom tergesa. Namun sayang, terpeleset. Menabrak tamu wanita berjarik lurik, dengan piring anak-anaknya. Pecah.
Piringnya habis.

*

Angin bertiup biasa saja ketika kabar kematian tiba. Burung, ayam, bebek berkicau, kokok, kuek ala kadarnya. Tukang bubur, penjaja nasi pecel, penjual jamu tak berhenti meracik ramu. Semua wajar tak berkejar tanpa pertanda saat kabar kematian tiba.

Mati selalu dia, bukan kamu. Apalagi aku.
Mati selalu mereka, bukan kalian. Apalagi kita.
Mati selalu jauh, belum jelang. Apalagi dekat.
Mati selalu milik dia, mereka dan jauh.

Aku bukan mati, kamu pun.
Aku tidak mati, kamu pun.
Matiku jauh. Kamu… kali ini tidak pun.
Tapi aku belum. Kamu… aku tak tahu.

Selalu.
Sampai aku, dan mungkin kamu, mendapat jatah giliran dalam resepsi. Menjadi piring.
Sampai aku, dan mungkin kamu, menyadari tamu resepsinya sudah mengambil tumpukan di atas kita. Ya, itu piring ayah ibu.
Sampai aku, dan mungkin kamu, masih menunggu tamu, lalu sinomnya terpeleset.

**

Angin bertiup biasa saja ketika kabar kematian tiba. Sapi, kambing, kuda melenguh, embik, ringkik ala kadarnya. Loper koran, tukang pos, pengasong tetap bertandang meskipun rumah kosong. Semua wajar tak berkejar tanpa pertanda saat kabar kematian tiba.

Sesak sesaat, lalu sudah. Itu dia, bukan aku.
Duka sejenak, lalu lupa. Itu mereka, bukan kamu.
Alim sekejap, lalu nista. Matiku esok, bukan sekarang.

Selalu.
Sampai aku, dan mungkin kamu, mendapat jatah giliran dalam resepsi. Menjadi piring.
Sampai aku, dan mungkin kamu, menyadari tamu resepsinya sudah mengambil tumpukan di atas kita. Ya, itu piring ayah ibu.
Sampai aku, dan mungkin kamu, masih menunggu tamu, lalu sinomnya terpeleset.

Piringnya pecah.

Piring itu aku, kamu, kita…

Mati.

 

broken plates
broken plates

***

 

Terlamun Pasrah

Terlamun Pasrah

Kakiku dingin karena keringatku tertiup semburan penyejuk ruangan.
Rasanya jadi lembab dan tidak nyaman. Membuat jejamuran menghambur.
Aku selalu menutup kakiku kalau tidak ingin seluruh tubuhku ikut menjadi dingin.
Ujung kaki adalah pengendali suhu tubuhku.
Aku akan hangat ketika mereka hangat, dan akan dingin ketika mereka dingin.
Selimut hanya untuk mereka, bukan untuk paha, perut atau dada. Tapi untuk mereka, kaki.

Mereka serupa punggawa yang terlupa. Mengantar sang raja ke mana, namun begitu tiba kadang tak diharga.
Itulah mengapa, aku selalu membasuh mereka pertama kali begitu sampai ke tujuan. Bentuk penghargaan. Meskipun saat mengguyur tubuh, mereka selalu terakhir terbasuh, namun mereka punya waktu khusus untuk rehat berendamkan air suam bergaram, tetesan atsiri dalam perigi.

Dan sekarang aku lapar.

Sekarang sudah siang, hampir sore dan bukan hari yang sama.
Tapi aku sudah kenyang. Laparnya sudah lupa.
Aku makan sedikit nasi dengan banyak lauk.
Dua potong ayam rica, sekerat daging rendang kemarin sore, sebutir telur aku makan putihnya saja, dan ikan goreng yang di dalamnya berisi daging ikan giling dan telur. Kenyang. Bisa-bisa tertidur.

Di luar mendung, hujan turun mau tak mau. Untung anginnya sejuk, jadi jendela ku buka lebar.
Mulutku yang tadi berasa amis karena makan ikan sekarang sudah beraroma kopi yang menguar. Bukan seduh. Aku kunyah biji kopi yang dua hari lalu aku giling kasar. Amisnya hilang. Lalu aku menyeruput air jahe dan madu yang kutaburi sedikit garam.

Tetiba aku merindukan tanah Nobunaga. Entah karena lagu era baru yang terputar atau karena gerimis mulai rapat. Aku merasa ditaburi sakura. Aku ingin kembali.

Mungkin aku dulu berasal dari sana, di kehidupan sebelum sekarang. Entah sebagai apa, tapi aku merasa sangat dekat.
Angin membawa aroma tanah basah sekarang, dan aku semakin pasrah. Tenggelam mengkhayalkan sejarah…

IMG-20160930-WA0006

Sore itu Jingga

Sore itu Jingga

Sore itu jingga, seindahnya.
Sama seperti kopi itu pahit, seenaknya.
Atau pagi itu sejuk, senikmatnya.
Juga jadi orang itu seharusnya begini, sebaiknya.

Tapi itu dulu, ketika aku masih bisa mencium aroma hilalah yang sekarang namanya petrikor.
sama seperti ketika dulu aku menyebut bandros adalah gandos.
Atau saat Sabtu sore itu berwarna biru muda, sedangkan Minggu sore adalah merah buram.
Juga waktu buah tangan terbaik dari ayahku adalah kaset sanggar cerita.

Sekarang, saat ‘kenapa’ bisa diendapkan dulu, kemudian bagian jernihnya ditiriskan menjadi ‘betul juga sih’ atau ‘sebenarnya tidak masalah’ atau ‘ya mau bagaimana lagi’ atau ‘oh, ya sudah’
Semuanya lebih ringan dan tenang.

Sore itu jingga, seindahnya.
Kalau mendung? ‘Betul juga sih’.
Kopi itu pahit, seenaknya.
Kalau suka manis? ‘Sebenarnya tidak masalah’.
Pagi itu sejuk, senikmatnya.
Kalau ternyata gerah? ‘Ya mau bagaimana lagi’.
Jadi orang itu seharusnya begini, sebaiknya.
Kalau tidak begitu? ‘Oh, ya sudah’.

Sekarang petrikor baunya jarang terhirup.
Boro-boro makan bandros, ketan lupis saja pesan online.
Minggu sampai Sabtu sekarang warnanya sama, seragam, membosankan.
Sanggar ceritanya sudah banyak yang menjadi sanggar derita.

Tapi aku ringan dan tenang.
Karena sore itu jingga, kopi itu pahit, pagi itu sejuk, dan aku tidak menjadi orang yang seharusnya begini.

Aku ringan dan tenang.

Sepertinya …

jingga
dusk

WASKITA

WASKITA

“Jangan takut. Kamu hanya akan merasa seperti tidur hingga saatnya bangun nanti. Simbah akan memberitahumu kapan saatnya harus bangun, nduk. Berbaringlah. Sebentar lagi orang-orang itu akan segera sampai.”

Kemudian aku berbaring di peti kayu yang sudah dipersiapkan simbah di sebuah lubang seukuran 3 orang dewasa, suara simbah terdengar semakin lama semakin samar, lalu aku tertidur…

*

Suara aneh itu sedemikian keras hingga membuatku terbangun sontak dari mimpiku, dengan kepala pening dan degup jantung nyaris tak berjeda. Suara apa ini? Dan dimana aku? Suara aneh itu akhirnya berhenti. Ternyata berasal dari sebuah benda berbentuk persegi, seukuran setengah batu bata, yang belum pernah kulihat sebelumnya. Ada bagian yang berkilau memantulkan bayangan di sisi atas benda persegi itu, dan ada kotak-kotak kecil dengan tulisan-tulisan aneh di bawahnya.
Aku menyapukan pandangan ke seluruh penjuru ruang tempat aku terpaku bingung saat ini, benar-benar seperti hilang ingatan. Kepalaku masih pening, tapi aku masih tahu namaku, Seruni.

26gadegetwise-facebookJumbo-v2

Saat ini aku berada di atas dipan beralas lembut dan empuk dengan lapisan kain berwarna seperti kulit telur. Warna senada juga terpasang pada bantal-bantal di atasnya. Kakiku sebagian tertutup selimut, berwarna sedikit lebih tua dari kain pelapis alas empuk tempatku diam terduduk saat ini. Hangat.
Ruangan ini cukup lebar, berwarna teduh dan sejuk. Ada cermin tertempel di sisi dinding yang berseberangan dengan dipan, cukup besar sehingga seluruh dipan bisa nampak. Ada meja di sisi dinding lain yang menghadap ke jendela, kursi dan rak berisikian deretan buku-buku tebal semacam kitab. Diatas meja ada beberapa benda lain yang juga belum pernah kulihat sebelumnya. Lagi-lagi benda persegi. Dua lempeng segi empat yang satu sisinya menempel satu sama lain. Satu lempeng menempel di meja, sedang lempeng yang lain tegak berdiri, menyala mengeluarkan cahaya, dan ada suara berirama teratur terdengar dari lempengan segiempat itu. Lalu ada sulur-sulur di sekitarnya yang ujungnya menempel masuk ke sisi dinding. Benda apa itu sebenarnya? Dan kenapa ruangan ini semacam begitu kukenal tapi dengan bentuk dan benda-benda asing yang tak pernah kubayangkan sebelumnya? Di samping lempeng persegi aneh itu terbuka beberapa buku tebal.

 

Belum tuntas aku memandangi benda-benda asing di sekitarku tiba-tiba benda persegi seukuran setengah batu bata, yang tadi membuatku terbangun, kembali mengeluarkan suara. Kali ini bergetar dan berirama. Bagian berkilau yang memantulkan bayangan tadi kini bercahaya dan nampak wajah seseorang di dalamnya. Apa-apaan ini? Alat teluh siapa sehingga bisa menangkap wajah seseorang di dalamnya? Aku tak berani menyentuhnya. Aku takut. Kemudian benda itu diam. Berbunyi lagi. Diam lagi. Dan berulang hingga tiga kali. Aku memberanikan diri mendekatinya dan memandangnya dari dekat. Hampir saja tanganku menyentuh benda itu jika saja dia tidak kembali berbunyi dan bergetar. Kali ini bunyi yang keluar hanya singkat. Semacam suara ciap burung, pendek, berulang tiga kali. Kutarik cepat tanganku dan aku sedikit menarik tubuhku ke belakangmobile-content-900x423
Tiba-tiba terdengar suara seseorang dari luar pintu ruangan itu. Tak jelas, tapi sepertinya dia memanggil nama seseorang. Lalu pintu terbuka dan muncullah wanita setengah baya dengan model baju yang agak aneh. Terusan panjang mirip jubah yang dipakai empu-empu dan pendeta. Wajahnya anggun dan menenangkan. Rambutnya yang sedikit beruban digelung ke belakang dengan tusukan rambut berwarna hitam.

“Raras, kok telepon ibu nggak diangkat? Kamu silent hapenya? Ibu telepon tiga kali. Sms juga nggak dibalas. Ibu jadi khawatir. Obatnya sudah diminum?”

Sambil berjalan mendekat, wanita itu berucap lagi.

“Barusan ibu ke warung sebentar beli minyak, tiba-tiba kok ibu merasa kamu pasti belum minum obat yang diminum setelah makan tadi.”

Lalu dia duduk di sisi dipan sambil meletakkan punggung tanggannya di keningku. Aku diam saja.

“Ras, kamu kenapa nak? Pucat sekali… Kamu mimipi buruk lagi? Kenapa obatnya belum diminum?”

Aku memandangi wanita itu bergerak mendekati meja kecil di sisi dipan tempat benda seperti alat teluh itu tergeletak, mengambil beberapa butir benda kecil bulat dan lonjong berwarna-warni kemudian menuangkan air dari botol kaca bening ke dalam cangkir besar yang mengkilap.

“Minum dulu obatnya biar cepet enakan badannya. Bukannya kamu sudah pasang alarm di hape, kapan harus minum obat?” kata wanita itu.
“Ya sudah, ini diminum dulu obatnya dan kamu boleh tidur lagi. Nanti ibu bangunkan kalau sudah jam makan. Ya nak ya?” ujarnya sembari menyodorkan butir-butir benda kecil aneka warna tadi.

Ah, pasti ini untuk mengobati peningku yang masih tersisa tadi. Aku menurut saja, karena aku pikir Ini pasti mirip jamu pilinan yang pernah kuminum beberapa waktu lalu. Tapi jamu yang kuminum tidak berwarna-warni seperti ini. Hanya hitam bulat-bulat seukuran tai kambing. Biarlah. Lalu kutelan butir-butir aneka warna itu dengan gelontoran air.

“Sudah, sekarang kamu istirahat lagi supaya cepet sembuh, ya?”

Wanita itu beranjak dari dipan menuju meja dengan benda persegi dua lempeng yang ada diatasnya.

“Itu laptop nyala terus dari tadi? Wong kamu tidur juga nggak kedengeran musiknya, ibu matikan saja ya laptopnya? Nggak usahlah mainan internet dulu, nanti malah nggak istirahat”.

Lalu dia mengutak-atik benda persegi dua lempeng diatas meja, dan tiba-tiba suara berirama dari benda itu lenyap. Benda itu juga sudah tak bercahaya lagi. Kemudian wanita itu menangkupkan kedua lempeng perseginya hingga bertemu satu sama lain.

“Istirahat ya, ibu mau masak dulu. Nanti ibu bangunkan kalau masakan sudah siap.”

Aku masih diam saja memandangi wanita itu berjalan menuju pintu, keluar dan menutupnya. Kenapa wanita itu memanggilku Raras? Namaku Seruni, bukan Raras…
Tiba-tiba mataku terasa berat…semakin berat… dan aku tertidur.

*

Mataku silau oleh cahaya dari arah atas. Samar-samar aku melihat wajah simbah.

“Nduk, sekarang sudah aman. Bangunlah…”

Simbah membimbingku bangun. Mataku masih belum bisa terbuka sempurna, cahaya mendadak yang tiba-tiba masuk ke dalam peti kayu dalam lubang yang dibuat simbah, masih menyilaukan. Aku merasa tubuhku lemas sekali. Simbah kemudian memberiku minuman rempah hangat untuk memulihkan kondisiku.

“Sebenarnya ada apa ini, mbah? Simbah sudah membangunkanku, dan simbah berjanji akan menceritakan apa yang terjadi jika kita bisa bertemu lagi. Aku takut sekali, mbah. Simbah seperti menyiratkan kesan kalau kita akan mati.”

Simbah masih diam sambil mengaduk-aduk kuali berisi ramuan rempah yang masih hangat di hadapannya.

“Aku mimpi aneh sekali mbah saat tidur di dalam peti itu. Aku bingung, takut, dan berada di tempat yang sangat asing dengan benda-benda aneh. Ada wanita yang menyebut dirinya ibu dan memanggilku Raras. Aku takut mbah…”

Simbah masih diam. Hanya terdengar sesekali suara sendok kayu menyentuh kuali tanah liat berisi ramuan rempah yang masih terus diaduknya, sebelum akhirnya bicara…

“Pasukan Kasultanan Pajang sudah sampai di perbatasan Mataram, nduk. Simbah hanya bermaksud melindungimu dari pertumpahan darah yang mungkin terjadi.”

Suara adukan sendok kayu dalam kuali tanah liat kembali terdengar dalam keheningan…

“Ada satu yang hal yang tidak bisa simbah lakukan, meskipun simbah seorang tabib, pembuat jejamuan, penyembuh pesakitan, dan kamu tahu simbah punya waskita untuk tahu sebelum winarah, sebelum sebuah peristiwa benar-benar terjadi, dan sebelum semua orang tahu.”

Simbah menghentikan adukannya dan menuangkan ramuannya ke dalam botol-botol tanah liat yang sudah dipersiapkan.

“Wedhus gembel sudah lapar, nduk. Sebentar lagi dia akan turun mencari makan. Dia tidak akan keluar sendiri namun bersama kotoran-kotorannya.”

Aku masih diam mematung menyimak ucapan simbah.

“Simbah bermaksud melakukan unjal sukma untuk menyelamatkanmu. Melempar ruhmu ke masa lain sehingga kamu lepas dari petaka. Namun simbah berubah pikiran…”
“Masa depan tidak lebih baik dari petaka yang sebentar lagi menjelang, nduk. Simbah tidak menyelamatkanmu. Simbah justru hanya akan melemparmu dalam rangkaian bencana maha dahsyat berikutnya, dan sekali lagi… Satu hal yang tidak bisa simbah lakukan meskipun simbah punya waskita, simbah tak bisa melawan garis Gusti Pangeran Penguasa Semesta.”

Aku masih terdiam sambil mencoba mencerna penjelasan simbah.

“Simbah tidak perduli jika harus menjadi korban pertumpahan darah penyerbuan pasukan Pajang ke Mataram, atau tak selamat dari amukan wedhus gembel, namun ruh simbah akan tersiksa menanggung kecewa jika simbah tak bisa menyelesaikan tugas yang diberikan Gusti Pangeran dengan waskita dan keahlian yang simbah miliki.”
“Ya, simbah mengurungkan unjal sukmamu karena simbah tidak mau mengubah garis. Simbah sudah menutup waskita winarah sehingga simbah tidak tahu apa yang akan terjadi pada kita nanti.”

Aku mulai paham semuanya…

“Sekarang bantu simbah menyelesaikan ramuan-ramuan ini dan menyimpannya dalam wadah-wadah itu, karena kini tak seorangpun dari kita yang tahu, apakah pasukan Pajang akan membabat leher kita, tombak-tombak Mataram menancapi dada kita, wedhus gembel menghanguskan tubuh kita, atau kita akan bertahan dan memberikan pertolongan dengan jejamuan ini.”

…dan sayup-sayup kudengar suara gemuruh di kejauhan…

im_20160628223158_716867

*

Aku terbangun sebelum alarm hapeku berbunyi. Sudah sedikit lebih segar. Setelah minum beberapa teguk air, aku segera melangkah menuju meja kerjaku. Menyalakan laptop dan melanjutkan tulisan untuk artikel terbaruku.

‘Perang antara Pajang melawan Mataram ternyata dibantu kekuatan alam. Pasukan Pajang yang akan menyerbu Mataram berjatuhan karena disapu badai letusan gunung Merapi. Kasultanan Pajang kemudian menjadi negeri bawahan Mataram, dan mulai runtuh pada tahun 1587, saat Pangeran Benawa bertahta sebagai raja Pajang yang ke tiga.’

*