Aku menyukai malam seperti aku menyukai akhir pekan. Padanya aku tak perlu khawatir akan kepenatan, tuntutan hiruk-pikuk dunia siang dan hari-hari kerja.
Bukan berarti aku tidak menyukai siang dan hari-hari kerja. Aku menyukai mereka dalam sensasi yang berbeda.
Tahun ini berawal dengan agak lambat, tidak seperti biasanya, kurasa.
Hari-hari padat masih terasa lengang hingga bulan kedua. Pun terasa lebih sendu bahkan semenjak awal bulan pertama. Rasanya hampir seperti kelabu. Tidak wajar aku merasakan warna, tapi ini terasa.
Malam ini hujan. Tidak dingin, namun agak sesak pening berkunang-kunang. Aneh hujan di ibukota. Tapi bukankah ibukota memang nyaris selalu anomali. Tak heran banyak yang tak menyukai.
Aku membiarkan pemutar otomatis di saluran musik daringku mengalunkan lagu tanpa kata, sebagaimana kubiarkan jari-jemariku menekan tombol huruf merangkai kata sebagai pendamping nada-nada.
Rintik hujan yang biasa dirindukan banyak orang ini rasanya ingin kuganti dengan butiran salju yang dingin dan kering. Tidak basah dan lembap seperti di sini. Aku tak keberatan berbaju lapis-lapis, berbalut syal tebal dan sarung tangan. Karena aku tetap kering. Di sini, setipis apapun bajuku, tetap basah. Oya, dan lengket. Aku benci. Bikin jamuran.
Apakah aku pernah cerita, aku dulu bisa keluar dari ragaku dan berbincang dengan diriku sendiri? Dulu. Dulu sekali. Sebelum dewasa memaksakan logika dan membuatku berkata aku seperti orang gila. Tadi siang, aku merasakannya sesaat. Sebentar saja. Tapi aku ingat rasanya, meskipun hanya beberapa detik. Sembari bersila berusaha mendengarkan imam yang masih khotib, aku menatap tanganku dengan jam tangan biru dan sempat berkata pada ragaku, “hei, kamu”. Itu saja. Lalu sudah.
Sebelum malam, banyak tanya melintas. Ada yang terjawab, ada yang menggantung. Banyak distorsi, juga distraksi. Kadang terselang sepi. Kurasa-rasa saja. Rasanya aku khawatir, cemas. Kemudian lenyap. Lalu lebih tenang dan ringan. Sedikit.
Berganti penasaran dan buncah semangat. Sedikit. Sekarang, datar, tak terindera. Sedikit.
Kuseduh kopi sobek, karena aku sedang malas mengolah kopi serius seperti biasanya. Lagipula, aku kehabisan saringan kopi. Ritualnya kuganti. Gelas kosong kuisi dulu dengan dua sendok teh serbuk jahe gula, dua jumput krimer, lalu dua sobek kopi instan kecil yang biasa disajikan di pesawat, kalau naik kelas ekonomi dan kalian paham rasanya. Lumayan juga. Meskipun tak terasa seperti kopi sungguhan. Paling tidak bisa menipu lidahku… yang jelas-jelas tak bisa tertipu.
Di luar hujan masih rintik-rintik rapat. Namun sepertinya aku sudah bisa menghela nafas panjang, yang hembusannya terasa menyentuh tanganku dan uapnya terasa seperti “semua akan baik-baik saja”. Maka jadilah sesuai imanmu.
Semua akan baik-baik saja.
* * *