Buku itu berisikan nama semua anaknya beserta arti dan bagaimana kehidupan mereka di masa depan kelak. Lembar-lembar tulisan tangan itu hilang raib entah kemana.
Begitu sedikit percakapan dua orang ayah anak di suatu pagi.

Anaknya baru saja membongkar setumpuk lembaran lusuh dari dalam tas tua yang ia temukan di ruang kerja. Ruang itu sebetulnya lebih mirip gudang karena dipergunakan untuk menyimpan bermacam barang, terutama milik anak-anaknya yang kini semua merantau di ibu kota.
Tas tua itu tergolek di dalam lemari meja bersama dengan benda serupa di dalamnya. Tas dan semacam dompet-dompet besar ukuran ijazah yang berisiĀ  entah kertas-kertas apa.
Anaknya menarik bundelan kertas tua bertuliskan aksara jawa, mengamatinya sambil tercenung, mungkin mencoba kemampuannya membaca aksara kuno yang dulu pernah dipelajari di bangku sekolah dasar, atau menguji imajinasi dengan melemparkan dirinya ke masa lalu dan membaca surat-surat berulir gores penuh wibawa.

“Surat ini diantarkan dari Keraton Kidul ke rumah, naik kereta kerajaan untuk Eyang Putri. Abdi dengan seragam lengkap dan payung kerajaan yang mengantarnya”, suara ayahnya menghentikan senyapnya.

Menurut sang ayah, yang sudah berulang kali menceritakan kisah ini pada anak-anaknya, Eyang Putri berasal dari Keraton Kidul, istilah untuk menyebut Kasunanan. Sedangkan Eyang Kakung berasal dari Kadipaten, Mangkunegaran mereka menyebutnya.

“Eyang Kakung sering dipanggil Ndoro Ronggo, karena beliau yang memegang kunci perpustakaan keraton. Hanya beliau yang memiliki izin penuh atas semua buku di dalamnya selain pemerintah Belanda dan beberapa gelintir orang yang mendapat keistimewaan dari kumpeni”, lanjut ayahnya.

“Suatu saat, Eyang Kakung menulis buku, semua huruf ditulis dengan tangannya sendiri. Buku itu berisikan nama semua anaknya beserta arti dan bagaimana kehidupan mereka di masa depan kelak. Lembar-lembar tulisan tangan itu hilang raib entah kemana. Itulah mengapa, ayah tidak heran jika nasib kalian seperti sekarang”, tutupnya mengakhiri cerita.

Anaknya mengernyitkan dahi… Apa maksudnya dengan “nasib kalian seperti sekarang”? Ada apa dengan nasib kami? Begitu sekira arti kernyitan dahi dalam suara diamnya, sebelum dia kembali menatap lembar-lembar pudar lusuh yang dipegangnya dengan hati-hati.

* * *

“Aku mendapat winarah dalam hening pustaka tentang nasib aliran darahku. Aliran yang akan bercampur dengan tubuh istriku, dan keluar sebagai para warisku. Aku bahkan tahu bahwa darahku akan mengalir di tapak aspal menyambut ragaku.
Aku akan menuliskan semuanya, dan hanya salah satu anakku yang boleh mengetahuinya. Semoga dia bisa memaknai gurat tersembunyi di baliknya tanpa begitu saja membacanya secara harfiah”.

Pena basah berbatang kayu menemaninya malam itu menorehkan lengkung-lengkung aksara dengan temaram dian, dalam keheningan wigraha pustaka dan aroma serat-serat daluwang.

* * *

“Dhimas, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu sebelum nafasku membeku…”

“Dulu, bapak pernah menunjukkan padaku sebuah buku yang pernah ditulisnya setelah mendapat winarah. Nasib, nama, dan suratan warisnya semua tertuang, tak terkecuali. Dia tahu, aku tahu. Ibu… aku tak yakin dia tahu. Mungkin”.

“Aku tak ingin mendahului Gusti Pangeran dan alam semesta. Apabila kau menemukannya… simpan. Simpan dan jangan kau jadikan garis nasib. Simpan sebagai warisan bapak. Sebagai penghormatan atas karyanya. Itu saja…”

“Mendekatlah, akan aku ceritakan sedikit tentangmu dan anak-anakmu…”

Sang kakak tak pernah menyelesaikan suratan adiknya, bahkan untuk memberitahukan di mana buku itu tersimpan…

* * *

Semua peninggalan bapak yang disimpan kangmas sebagian besar sudah kurapikan. Kujadikan satu bendel dalam sebuah map dan kumasukkan ke dalam tas. Semuanya, termasuk edaran-edaran dari keraton, ijazah sekolah rakyat ibu, surat nikah bapak dan ibu, semua. Tapi aku tak menemukan buku tulisan tangan bapak seperti yang diceritakan kangmas. Apa yang sebenarnya ditulis bapak tentang kami, anak-anaknya? Dia hanya sempat menceritakan sedikit mengenai nasibku dan anak-anakku kelak. Sedikit sekali. Sangat samar. Aku bukan ingin mendahului masa depan, aku hanya ingin lebih dekat mengenal bapak.

Aku masih SMP ketika bapak mengalami kecelakaan. Bapak terhantam mobil ketika akan turun dari bus yang membawanya ke rumah kangmas. Dia ingin menjenguk cucunya, putri kangmas yang baru saja lahir. Namun alam semesta memenuhi janjinya tanpa tunda. Bapak menyerahkan raganya di atas aspal yang tergenang darahnya.

Mungkin memang harus berhenti di sini. Mungkin memang hanya bundel kertas-kertas lusuh ini yang bisa kusimpan untuk mengenang bapak dan ibu. Mungkin suatu saat kelak, aku hanya akan bisa menceritakan kisah ini pada anak-anakku, entah mereka percaya dan bangga akan kebesaran leluhurnya, atau mereka hanya akan menganggapnya sebagai dongeng.

* * *

20171219000719
Dokumen Eyang
Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s