Daluwang Riwayat

Daluwang Riwayat

“Aku selalu mengatakan yang sebenarnya, bahkan ketika aku berdusta”.

Itu yang ia tulis di lembar daun siwalan kering entah di mana, aku lupa. Ingatanku menembus ruang kosong yang pernah terisi aroma kayu, cengkeh, nenas, sitrus, dan serat tembakau.

Uar uapnya pernah membuatku termakan kepayang entah berapa purnama. Barangkali dalam hampanya juga tersimpan air mata duyung, liur perjaka, dan darah perawan. Entahlah.

Dalam samar sadar tersaput hasut, aku merasakan hangat yang tercekat. Antara iya dan tidak. Bau khas itu menyergap tanpa jeda dalam hela nafas yang tergagap. Tak berdaya.

Aku merasakan rambutnya yang legam pekat mengandan dan bibirnya yang legit tertapis sukma putri Mendut. Puting susu mencengkir gading menyentuh dadaku yang basah terurap keringat.
Tatapan matanya terliyap lindri, menggerakkan tanganku mencengkeram pinggang serupa kumbang kemit. Menyentuh sulur-sulur lembut daun asam yang terpicis tumpah. Rapi.

Kau tahu panjangilang? Itu adalah sesaji bumi yang mengiring ronggeng dukuh sebelah. Aku menyentuh miliknya. Tak besar, tapi bulat. Naik turun, memutar, mengaduk santan beraroma pandan. Aku tak kuasa.

Matanya meredup bagai damar terhembus angin, memejam rapat menyatukan alisnya yang tergambar bulan tanggal pertama. Aku merasakan butir air ragawi mengaliri lehernya yang ulan-ulan mengelung gadung. Deras dan wangi.

Deret geliginya membiji timun, menggigit lembut manggis rengat berpagut manis nira. Sukmaku nyaris lepas, saat dia menyelusur raga penuh dahaga. Jemari terpucuk duri membangkitkan bulu-bulu lembut menembus kulit ari. Aku bergidik merinding, tergelinjang jalang. Dia menggila.

Mendadak aku terkesiap, megap-megap berpeluh lembab. Terhenyak. Netraku terbelalak, menyentak hempas ujung nikmat. Aku tergendam gairah. Aku menyerah pasrah.

Begitulah awalnya…

Sisanya, seperti yang sudah kau tahu beberapa waktu lalu.

Aku yakin, kau masih ingin aku mengulang kisah ini nanti. Mungkin pada saat rehat minum arak, saat menemukan bilah-bilah lontar lainnya, atau saat kita berjeda setelah debat tentang para satria pemikat. Tak perlu risau. Aku telah menyuratnya di lembar daluwang untuk kau simpan.

Sambil menanti hati yang tak pasti…

desire
desire

Iklan

Terburu Cemburu

Terburu Cemburu

Semua tahu, wajahmu menyaru, dalam balut tampan dan ayu. Itu tidak perlu digunjing.
Semua juga tahu, akal bulusmu kadang bukan hanya menipu, tapi juga menjadi candu. Tentu saja bagi yang hatinya jatuh berkeping.
Mungkin itu yang membuat mereka mau terpaku dalam genggam pesonamu, yang padahal bau cerutu. Aku tak suka. Bikin pusing.

Sekutumu satu itu juga sama saja. Menjebak para kembara tak paham arah dalam pekat halimun, lalu merapal sirap hingga mereka terhasut nikmat.
Setelah itu? Kalian hina mereka dalam lena, karena jubah-jubahnya tak lagi membebat kulit mereka yang langsat. Mereka telanjang bulat termakan hasrat.

Owalah, ternyata ada juga hati yang masih tertawan palsumu. Padahal sudah lama terbuang percuma.
Ini bukan semata karena mantra. Prananya terlalu kuat menguar di udara. Coba rasakan. Ini aroma asmara. Betul bukan?

Astaga! Dia dimabuk cinta! Umpanmu menangkap mangsa!

Kalau sudah begini, tak peduli nurani atau jati diri. Gaman pedang, gandewa, gada sederhanapun mampu melantak cakra Wisnu dan trisula Siwa. Dahsyat.

Jadi, jangan sekalipun menguji kanuragan semacam itu, karena dayanya melebihi semburan Mahameru yang terbatuk malu, dan kekuatannya menyatu dengan titah Batara Guru.

Itu adalah ilmu ksatria terdahulu, semenjak gunung-gunung masih terduduk lugu.
Ilmu yang tak pernah terhapus waktu, bahkan kala terkepung pasukan dari tujuh penjuru.
Itu adalah ilmu ksatria yang terburu cemburu.

image
warrior

Kembaran Indera

Kembaran Indera

Ada 7 orang selain diriku yang berbagi segala. Itu yang dikatakan simbah.

Kembaran indera, dia bilang. Mereka bisa jadi siapa saja, dari mana saja, berkemampuan apa saja. Tidak selalu sama. Tapi mereka berbagi indera denganku, katanya.

“Kalian akan saling menjaga. Kalian akan saling merasa”, begitu dia bilang.

Aku tidak sepenuhnya percaya apa yang dia katakan, tapi bukan juga sangsi. Jadi kudengarkan saja apa katanya. Datar.

Lalu suaranya sayup memudar. Hilang.

Mataku terpejam. Nafasku memburu lepas-lepas. Tubuhku terasa gerah, terengah-engah, dan kelaminku bergejolak, basah. Aku birahi.

Tak tuntas dan aku tergagap. Kepalaku pengar bagai ditampar. Mataku panas berair. Hidungku berdarah mengalir. Aku limbung, nyaris tergelincir. Buku tanganku luka seperti menghantam benda keras. Aku berkelahi.

“Sudah kembali?”, suara simbah terdengar lagi. Seperti membangunkanku dari tidur.
Darah tak mengalir, kelamin tak berlendir. Otakku sibuk berpikir, apa ini?

Hembus angin menyejukkan benakku yang mendadak panas. Aku bersandar pada tiang balai kayu jati di pendopo. Ukirannya halus dan cermat. Menyentuh kulit telapak tangan.

Mendadak telingaku pekak suara beling pecah.
“Pak, Anda menjatuhkan cangkir kopi Anda yang ke dua”, teguran seorang pelayan menyadarkanku.
Ingatan memaksaku sadar keberadaan terakhirku. Aku di kedai kopi. Mana simbah?

“Aku di sini”, suaranya di sampingku.

Tapi, aku baru saja mengagumi ukiran kayu balai di pendopo, dan menyentuh wujudnya, bukan di kedai kopi.

“Aku yang merabanya. Kau hanya merasakan. Karena aku menghadirkanmu. Hadir tidak selalu harus muncul. Merasakan tidak selalu mengalami”, sambungnya.

Suara simbah lenyap ketika seorang pelayan menyorongkan selembar kain lap. “Biar saya bersihkan dulu tumpahan kopi dan pecahan gelasnya, pak”, ujarnya.

Aku menatapnya kosong.

Aku tidak punya simbah.

442125a-i1.0
sense

Terbang

Terbang

Kau bisa bayangkan, menyelam dalam air, seperti melayang? Begitulah aku terbang.
Terbangku bukan seperti ksatria lain dalam riwayat nenek moyang ayah ibumu, yang bisa langsung melesat ke udara setelah menjejakkan kakinya dari tanah.

Terbangku tidak bisa menghentak. Namun harus mengambil ancang-ancang, berlari atau berjalan cepat, lalu ayunkan tangan melawan bumi seolah mendorong tubuh ke atas. Benar-benar seperti ketika kau berenang atau menyelam. Aku tak bersayap, jadi aku tak bisa mengepak.

Setelah beberapa lama di udara, biasanya tubuhku akan memberat dan ketinggian terbangku menurun. Itu artinya, aku harus mengayunkan tangan lagi melawan tarikan bumi, supaya tubuhku kembali terdorong ke atas. Benar-benar seperti menyelam di air kan?

Aku juga harus melakukan gerakan yang sama ketika ingin berbelok, menukik, atau menambah ketinggian terbang. Begitu juga saat sedang melayang diam. Tanganku harus sesekali mengayun untuk menjaga ketinggian.

Aku tidak bisa menunjukkan kemampuanku ini secara nyata di depan orang. Rasanya tidak aman, dan tidak bijaksana membuat orang ternganga takjub melihat manusia terbang. Aku bisa dianggap hantu. Meskipun kadang, beberapa kali sempat aku tahu mereka tahu. Kalau itu yang terjadi, aku tak ambil pusing. Tapi aku tak mau menyengaja supaya mereka tahu.

Aku paling suka terbang di tanah lapang, menyusur aliran sungai, pegunungan, dan di atas laut. Di pinggiran tapi, bukan di tengah. Rasanya nikmat sekali menantang angin yang menerpa wajah, rambut, dan seluruh tubuhku. Aku juga tidak perlu terlalu kuat mengayun tangan ketika berada di tempat luas seperti itu.

Berangkat terbang dari tempat sempit, terutama yang memiliki banyak perintang, paling aku benci. Di antara gedung dan bangunan perkotaan, atau yang banyak kabel listrik, aku sangat tidak suka. Lebih baik dari hutan. Lebih mudah meskipun sama-sama banyak rintangan.

Aku pernah hampir terjatuh karena menghindari bentang kabel listrik yang carut-marut. Untung belum terlalu tinggi terbangku. Tetap saja, sempat membuat kakiku terkilir saat menyentuh tanah. Meskipun begitu, aku selalu mengulanginya lagi, dan lagi, dan lagi. Aku suka sekali terbang.

Satu-satunya yang membuatku berhenti terbang adalah, ketika mendadak semua menjadi begitu nyata. Ketika aku mulai bisa merasakan kulitku, membuka mataku, dan tergugah sadar atau pengar. Aku benci itu. Karena aku suka terbang. Dan aku tak bisa terbang ketika semua hal mulai nyata terbentang di hadapan.

Ya.

Ketika aku terbangun.

fly
fly

Kata Dua Cawan

Kata Dua Cawan

Dua cawan terbuka ketika kartu dilempar. Dua kali.
“Jangan lakukan apapun, jangan ambil keputusan sama sekali,” kata sang cenayang.

“Dua adalah diam. Jangan bertindak, apalagi memutuskan kehendak, karena dua adalah keseimbangan.”

“Tetap tinggal dan jangan tumpahkan cawan. Duka lara suka cita semua ada di sana. Sekali tertuang tak akan berulang. Biarlah mengendap sebelum kakimu menderap.”

“Cukup itu untuk satu tanyamu,” tutup sang cenanyang.

Lalu dia menghilang.

 

IMG-20160104-WA0006

Selimut Gemintang

Selimut Gemintang

Tandu besi yang membuat kudamu limbung, lalu menjatuhkanmu bertumpu siku, hingga pecah retak membengkak.
Ingat?
Pasti.

Sais tandu yang turun menyeretmu agar terhindar dari terjang pasukan Pajang.
Ingat?
Pasti.

Prajurit kelana yang juga terhempas dari kudanya karena terantuk tapal kudamu.
Ingat?
Pasti.

Sajjana, lawan cakap dan laku tengil yang sangat kau banggakan, yang selalu muncul dalam setiap fatamorgana kerinduan, dan desir kebahagiaan.
Ingat?
Benamkan kepalaku ke dalam lumpur hisap, kalau jawabannya bukan pasti.

Dua selimut gemintang menaungi tidurku melawan semburan nafas Himalaya. Hanya tapa brata yang bisa menandingi kegemingan, ketika Resi tabib berkata, “Jangan berkedip tanpa perintahku atau sumsumnya tak akan tumbuh!”

Tulang-tulangku ngilu berbungkus daging mengerut terhimpit kulit yang makin merapat. Putingku menciut menahan hempas kipas tanpa derajat.
Ingat?
Barangkali.

Dua selimut gemintang telah tersingkap. Lebih baik undur diri bersiap memasang bubungan. Siapa tahu para tetamu berniat menatap tuanku, atau Sajjana kembali menghapus rindu.
Ingat?
Mungkin.

Dalam keriuhan menyambut caraka lara, sepertinya moksa sekejap adalah bijaksana. Toh tidak selalu.
Tapi apakah ini bermakna?
Entah.

Samsara.
Itukah yang membuatmu hilang ingatan?
Tapi bisakah bosan, taruna yang lebih pandhita, atau hati yang sudah nirrasa penyebabnya?
Kali ini aku sama sekali tak berani memberi janji pasti.
Karena dua selimut gemintang kembali membekap.

 

image
star gazing

Kolam Sembilan Cakap

Kolam Sembilan Cakap

Aku tidak habis pikir, bagaimana mereka sengaja bertahan hidup di kolam itu.

Itu adalah sebuah kolam, dengan air mengalir, berisi ikan warna-warni.
Mulut-mulut mereka tak berhenti bergerak di dalam sana.
Tak ada suara. Dari atas.

Masuklah. Ke bawah.

Kau akan tenggelam dalam buncah acak centang-perenang.

Ambigu. Bias. Gaduh. Saru. Caci. Binal.

Segala rupa.

Sebagian tak seperti wujudnya.

Umpan serupa jeram membuat mereka berkecipak berontak, terdesak, lalu tersedak.

Memang begitu.

Mereka suka.

Lalu bisa menghina-dina, tikam-bunuh, mencumbu, atau cemburu.
Bahkan saling melempar rindu.

Aku tidak habis pikir, bagaimana mereka sengaja mencebur ke kolam itu.

Apa yang mereka cari?

Kawan, lawan, atau sekedar lawakan?

Lalu mengapa aku menelisik seperti telik?

Ah, sudahlah… Apalah aku. Seekor ikan tak paham arah.

Biarlah mereka berpesta hingga kalap, di kolam sembilan cakap.

fish
kolam ikan