Kakiku dingin karena keringatku tertiup semburan penyejuk ruangan.
Rasanya jadi lembab dan tidak nyaman. Membuat jejamuran menghambur.
Aku selalu menutup kakiku kalau tidak ingin seluruh tubuhku ikut menjadi dingin.
Ujung kaki adalah pengendali suhu tubuhku.
Aku akan hangat ketika mereka hangat, dan akan dingin ketika mereka dingin.
Selimut hanya untuk mereka, bukan untuk paha, perut atau dada. Tapi untuk mereka, kaki.
Mereka serupa punggawa yang terlupa. Mengantar sang raja ke mana, namun begitu tiba kadang tak diharga.
Itulah mengapa, aku selalu membasuh mereka pertama kali begitu sampai ke tujuan. Bentuk penghargaan. Meskipun saat mengguyur tubuh, mereka selalu terakhir terbasuh, namun mereka punya waktu khusus untuk rehat berendamkan air suam bergaram, tetesan atsiri dalam perigi.
Dan sekarang aku lapar.
Sekarang sudah siang, hampir sore dan bukan hari yang sama.
Tapi aku sudah kenyang. Laparnya sudah lupa.
Aku makan sedikit nasi dengan banyak lauk.
Dua potong ayam rica, sekerat daging rendang kemarin sore, sebutir telur aku makan putihnya saja, dan ikan goreng yang di dalamnya berisi daging ikan giling dan telur. Kenyang. Bisa-bisa tertidur.
Di luar mendung, hujan turun mau tak mau. Untung anginnya sejuk, jadi jendela ku buka lebar.
Mulutku yang tadi berasa amis karena makan ikan sekarang sudah beraroma kopi yang menguar. Bukan seduh. Aku kunyah biji kopi yang dua hari lalu aku giling kasar. Amisnya hilang. Lalu aku menyeruput air jahe dan madu yang kutaburi sedikit garam.
Tetiba aku merindukan tanah Nobunaga. Entah karena lagu era baru yang terputar atau karena gerimis mulai rapat. Aku merasa ditaburi sakura. Aku ingin kembali.
Mungkin aku dulu berasal dari sana, di kehidupan sebelum sekarang. Entah sebagai apa, tapi aku merasa sangat dekat.
Angin membawa aroma tanah basah sekarang, dan aku semakin pasrah. Tenggelam mengkhayalkan sejarah…