Sore itu jingga, seindahnya.
Sama seperti kopi itu pahit, seenaknya.
Atau pagi itu sejuk, senikmatnya.
Juga jadi orang itu seharusnya begini, sebaiknya.
Tapi itu dulu, ketika aku masih bisa mencium aroma hilalah yang sekarang namanya petrikor.
sama seperti ketika dulu aku menyebut bandros adalah gandos.
Atau saat Sabtu sore itu berwarna biru muda, sedangkan Minggu sore adalah merah buram.
Juga waktu buah tangan terbaik dari ayahku adalah kaset sanggar cerita.
Sekarang, saat ‘kenapa’ bisa diendapkan dulu, kemudian bagian jernihnya ditiriskan menjadi ‘betul juga sih’ atau ‘sebenarnya tidak masalah’ atau ‘ya mau bagaimana lagi’ atau ‘oh, ya sudah’ …
Semuanya lebih ringan dan tenang.
Sore itu jingga, seindahnya.
Kalau mendung? ‘Betul juga sih’.
Kopi itu pahit, seenaknya.
Kalau suka manis? ‘Sebenarnya tidak masalah’.
Pagi itu sejuk, senikmatnya.
Kalau ternyata gerah? ‘Ya mau bagaimana lagi’.
Jadi orang itu seharusnya begini, sebaiknya.
Kalau tidak begitu? ‘Oh, ya sudah’.
Sekarang petrikor baunya jarang terhirup.
Boro-boro makan bandros, ketan lupis saja pesan online.
Minggu sampai Sabtu sekarang warnanya sama, seragam, membosankan.
Sanggar ceritanya sudah banyak yang menjadi sanggar derita.
Tapi aku ringan dan tenang.
Karena sore itu jingga, kopi itu pahit, pagi itu sejuk, dan aku tidak menjadi orang yang seharusnya begini.
Aku ringan dan tenang.
Sepertinya …
-
-
dusk