Celathu Bisu

Celathu Bisu

Pada akhirnya, aku tak bisa mengatakan bahwa aku tidak membutuhkannya. Tanpanya, aku mungkin tak akan bisa melakukan gerak-gerik ejawantah. Aku berterima kasih mendapatkannya, yang utuh tanpa daksa, meskipun keterbatasannya membuatku terperangkap batas badani.

Bagaimana aku bisa menemukan diriku sendiri dalam semesta luas berbatas lulang?
Sejauh rekadayaku mengupa atma, aku hanya mampu mendengarnya bertanya “siapa kamu?” yang tak kuasa terjawab.

Dulu…, dulu sekali, saat belia, ketika semua masih berjalan lambat dan terlihat menyenangkan, dia sering tepekur menatapku. Di depan cermin.
Ya, dia menatapku di depan cermin.
Dengan polosnya bertanya berulang-ulang.
“Siapa kamu?”
“Siapa kamu?”
“Siapa kamu?”
Sampai bosan.

Seringkali aku merasakan desakan kuat untuk menjawabnya. Aku menyeruak semesta ragawi rapuhnya, membuat rambut-rambut halus di kulit lembutnya terpaksa berdiri demi memberiku ruang.

Aku merasakan degup jantungnya.
Aku melihat tatapan mata polosnya.
Aku mendengar suaranya terus berucap pelan, “Siapa kamu?”
Aku memahaminya. Utuh.
Namun aku tak bisa menjawab.

Dia diam.
Aku tahu dia sedang merasakan kehadiranku.
Aku memahami senyum di bibirnya yang diam rapat.
Aku menyadari ketulusannya mengundangku.
Aku menerima ajakannya dalam hening.
Dia mengucap dalam senyap, “Mari berteman denganku…”

Sesaat kami memeluk ruang kosong bersama. Menikmati keakraban nirmasa dalam pertemuan tak terduga.
Damai…
Bersih…
Murni…
Waktu hilang, dan semua terasa…abadi.

Entah apa yang biasanya memutus pertemuan ini, namun setiap kali kami sedang menata cata meraba herdaya, tetiba saja aku terhisap segala rangka wujud mungilnya. Aku hilang darinya.

Pantulan bayangannya terhenyak, dan mulut kecilnya berkata tanya, “Kamu sedang apa?”, lalu aku benar-benar terlupakan.

Kami masih sempat beberapa kali bertemu panggil, sebelum masa memaksanya akil.
Suatu kali pernah, barangkali dia rindu bertemu atau hanya membunuh jemu, mencoba menatapku seperti dia lakukan masa tadika dulu. Di depan cermin.
Tanpa polosnya bertanya berulang-ulang.
“Siapa kamu?”
“Siapa kamu?”
“Siapa kamu?”
Sampai sebelum bosan.

Aku bahkan belum sempat merasa tergerak menyeruak semesta ragawinya yang tak lagi rapuh, meskipun aku merasa rambut-rambut halus di kulitnya yang kini liat terpaksa berdiri. Namun bukan demi memberiku ruang. Aku lebih menyadarinya sebagai ketakutan. Ya, dia takut! Dia takut kenyataanku!

Pantulan bayangannya terhenyak, dan mulut dewasanya berkata tanpa tanya,

“Kamu gila!”.

Aku merasakan diriku tersisir nyaris hilang. Dia bersama siapa? Apa yang mengendalikan tulang-belulang wak dagingnya? Bagaimana dia mengolah raganya?
Akukah yang kehilangannya? Atau diakah yang tak lagi menyadariku?

Aku mencari, lagi, lagi, dan lagi.
Semakin kala berkala, aku semakin merajalela.
Aku bertanya, kali ini padanya, “Kamu siapa?”

Sungguh aneh… Aku merasa, semakin kupikir dan berusaha mencari tahu siapa, semakin tak kutemukan jawabannya.
Bahkan yang kurasa terdekat pun asing.

Jadi, apakah aku membutuhkannya, jika pada saatnya kelak aku akan kehilangannya?
Ataukah dia yang sebenarnya memerlukanku?

Pada akhirnya, aku tak bisa mengatakan bahwa aku tidak membutuhkannya. Tanpanya, aku mungkin tak akan bisa melakukan gerak-gerik ejawantah. Meskipun akhirnya aku tahu, akulah yang terikat diriku sendiri. Dia tanpaku, mati. Aku tanpanya, fana.

Oya, perkenalkan, aku Jiwa.

 

https://gfycat.com/gifs/detail/CloseGorgeousGermanshepherd
Soul