Kembaran Indera

Kembaran Indera

Ada 7 orang selain diriku yang berbagi segala. Itu yang dikatakan simbah.

Kembaran indera, dia bilang. Mereka bisa jadi siapa saja, dari mana saja, berkemampuan apa saja. Tidak selalu sama. Tapi mereka berbagi indera denganku, katanya.

“Kalian akan saling menjaga. Kalian akan saling merasa”, begitu dia bilang.

Aku tidak sepenuhnya percaya apa yang dia katakan, tapi bukan juga sangsi. Jadi kudengarkan saja apa katanya. Datar.

Lalu suaranya sayup memudar. Hilang.

Mataku terpejam. Nafasku memburu lepas-lepas. Tubuhku terasa gerah, terengah-engah, dan kelaminku bergejolak, basah. Aku birahi.

Tak tuntas dan aku tergagap. Kepalaku pengar bagai ditampar. Mataku panas berair. Hidungku berdarah mengalir. Aku limbung, nyaris tergelincir. Buku tanganku luka seperti menghantam benda keras. Aku berkelahi.

“Sudah kembali?”, suara simbah terdengar lagi. Seperti membangunkanku dari tidur.
Darah tak mengalir, kelamin tak berlendir. Otakku sibuk berpikir, apa ini?

Hembus angin menyejukkan benakku yang mendadak panas. Aku bersandar pada tiang balai kayu jati di pendopo. Ukirannya halus dan cermat. Menyentuh kulit telapak tangan.

Mendadak telingaku pekak suara beling pecah.
“Pak, Anda menjatuhkan cangkir kopi Anda yang ke dua”, teguran seorang pelayan menyadarkanku.
Ingatan memaksaku sadar keberadaan terakhirku. Aku di kedai kopi. Mana simbah?

“Aku di sini”, suaranya di sampingku.

Tapi, aku baru saja mengagumi ukiran kayu balai di pendopo, dan menyentuh wujudnya, bukan di kedai kopi.

“Aku yang merabanya. Kau hanya merasakan. Karena aku menghadirkanmu. Hadir tidak selalu harus muncul. Merasakan tidak selalu mengalami”, sambungnya.

Suara simbah lenyap ketika seorang pelayan menyorongkan selembar kain lap. “Biar saya bersihkan dulu tumpahan kopi dan pecahan gelasnya, pak”, ujarnya.

Aku menatapnya kosong.

Aku tidak punya simbah.

442125a-i1.0
sense
Iklan